“Kami ibaratnya seperti ayam kehilangan induk. Rimbo rayo nenek kami sudah habis,” ujar Temenggung Jurai, pemimpin Suku Anak Dalam di Desa Limbur Tengah, Kecamatan Bathin VIII, Sarolangun, Jambi, akhir September 2024.
Pria itu mengungkapkan kelompoknya yang berjumlah 13 keluarga tidak bisa lagi hidup bergantung dengan ketersediaan hutan. Hutan yang sebelumnya lestari sebagai ruang hidup, telah mengalami deforestasi dan alih fungsi lahan.
Mereka terpaksa bermukim di rumah papan sejak tahun 2015. Rumah-rumah berwarna kuning ini merupakan bantuan dari kelompok gereja.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mengumpulkan brondolan (buah kelapa sawit yang lepas dari tandan). Mereka tidak bisa berburu atau mengumpulkan makanan di hutan seperti dahulu.
“Keluhan Suku anak Dalam sekarang itulah, rimba sudah habis, buruan sudah habis, mati semua. Kalau sekarang cari brondol sawit. Kalau tidak lagi, positif tidak makan,” ujar Jurai.
Mengumpulkan brondolan, bukan tanpa risiko bagi Suku Anak Dalam. Buah sawit yang dikumpulkan itu berada di lahan konsesi perusahaan. Kelompok Temenggung Jurai khawatir sewaktu-waktu tidak lagi diberikan izin hingga dianggap mencuri karena mengumpulkan brondolan.
Tidak hanya mengumpulkan brondolan, Suku Anak Dalam itu pun sempat mengumpulkan rongsokan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka menelusuri jalanan dan permukiman memungut berbagai besi, salah satunya berupa paku. Ironisnya, mereka mendapatkan perlakuan buruk dari masyarakat.
“Pernah dahulu, ngambil paku berserakan, dan besi buruk banyak di limbah. Nah, saat itu ditegur orang. Jadi kita itu kan dak enak. Tapi tidak setiap orang yang seperti itu,” katanya.
Kelompok Suku Anak Dalam ini bahkan sempat dituduh mencuri kabel. Rombongan yang melayangkan tuduhan itu, bahkan datang ke permukiman Temenggung Jurai.
Padahal, Suku Anak Dalam ini tidak pernah melakukannya. Beberapa hari kemudian, terbukti pihak yang melakukan pencurian itu ialah orang lain yang tinggal di dusun.
Dengan demikian, Suku Anak Dalam tidak hanya tertatih-tatih setelah kehilangan ruang hidup. Mereka juga menghadapi stigma yang didapatkan dari masyarakat luar.
Merajut mata pencarian
Namun, di balik kesulitan itu, Suku Anak Dalam Temenggung Jurai, berupaya bangkit dengan merintis berbagai usaha. Mereka berkebun, belajar mekanik otomotif untuk membuka bengkel, hingga beternak ikan.
Kebun mereka saat ini belum luas, yakni sekitar 800 meter persegi. Di dalamnya tumbuh tanaman cabai dan berbagai sayuran hijau. Mereka tidak menggunakan alat kimia untuk mengusir hama. Kemampuan budi daya ini berkat Sekolah Lapang Pertanian yang diadakan Pundi Sumatra melalui dukungan dari program Indigenous Peoples Assistance Facility (IPAF), pada Maret 2024 lalu.
Namun, pertanian pangan ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena itu, Jurai berharap pemerintah memberikan bantuan berupa lahan pertanian dan modal untuk membeli bibit.
“Ada kendala. lahannya. Tapi kalau kami dikasih lahan untuk cucuk tanam, itu lebih bagus,” kata Jurai.
Disabilitas tak menghalangi belajar perbengkelan
Sedangkan terkait kemampuan mekanik, Suku Anak Dalam mempelajarinya secara otodidak. Masyarakat adat ini memperhatikan bagaimana pekerja bengkel memperbaiki sepeda motor. Apa yang dilihat itu kemudian dipraktikkan pada sepeda motor mereka yang mengalami kerusakan dengan menggunakan alat yang sebenarnya bukan perlatan bengkel.

“Kadang pakai, kayu, parang, mana yang bisa dipakai. Kepepet karena tidak ada alat. Diikat pakai karet untuk ban bocor lagi,” ujar Nigan.
Nigan adalah salah satu pria yang bisa memperbaiki sepeda motor. Disabilitas fisik tidak menghalangi dirinya untuk mempelajari otomotif.
Dengan melihat potensi ini, Pundi Sumatra dan mitranya memberdayakan sejumlah Suku Anak Dalam melalui pelatihan otomotif di sekolah menengah kejuruan. Saat pelatihan ini berlangsung, pelatihnya kaget ketika mengetahui bahwa Suku Anak Dalam ini sudah bisa memperbaiki sepeda motor yang mengalami kerusakan ringan. Namun, waktu pelatihan ini tidak cukup lama untuk Suku Anak Dalam belajar tentang mesin secara mendalam.
“Kalau sejauh ini bagian luar saja. Makanya, kalau bisa bagian dalam mesin,” ujar Nigan, salah satu pria Suku Anak Dalam.
Sedangkan program yang dimiliki Balai Latihan Kerja (BLK), tidak bisa mengakomodasi kebutuhan Suku Anak Dalam. Instansi ini hanya bisa memberikan pelatihan otomotif selama sebulan tanpa uang saku.
“Kami tidak bisa meninggalkan anak, bini kami. Butuh makan sehari-hari,” ujar Nigan.
Di sisi lain, kabar baiknya, Suku Anak Dalam itu sudah mendapatkan bantuan berupa perlatan bengkel dari Pundi Sumatra. Walau belum bisa membuka bengkel, dengan menggunakan peralatan ini mereka bisa memperbaiki sepeda motor lebih efisien.
Suku Anak Dalam Temenggung Jurai berharap mereka bisa membuka bengkel di lokasi yang strategis demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan.
Selain bengkel, terdapat salah pria Suku Anak Dalam yang sudah bisa memotong rambut. Kemampuan ini bermanfaat bagi kelompok Suku Anak Dalam itu untuk memotong rambutnya tanpa biaya. Ia pun berharap bisa membuka tempat pangkas rambut.
Kepala Kecamatan Bathin VIII Aryo L Fajrin mengapresiasi Suku Anak Dalam yang telah berupaya meningkatkan perekonomian dengan bertani dan belajar perbengkelan. Pihaknya akan memberikan dukungan berupa promosi dan siap membantu menyediakan fasilitas pemasaran.
“Kami tentu memberikan support dan dukungan, salah satunya dengan promosi. Kami juga memberikan fasilitasi ketika ada bantuan-bantuan,” katanya.
Ia berharap berbagai keterampilan itu terus dikembangkan Suku Anak Dalam hingga masyarakat adat ini bisa mandiri.
“Tentu kami bersama Pundi Sumatra dan sebagainya, akan bantu promosi, kemudian dalam pemasaran akan kami fasilitasi. Mudah-mudahan bisa berkembang ke depannya,” ujarnya.
Jalan terjal Suku Anak Dalam di Desa Pulau Lintang
“Yang di tanam di sini ada timun, kacang panjang, ada kangkung juga. Pada dasarnya kan kami tinggal di hutan, banyak yang tersedia di hutan, seperti makan kami, macam-macam. Lebih enak dibandingkan seperti ini. Namun, hutan habis karena PT,” ujar Temenggung Cerigai.
Ia mengungkapkan, tidak hanya kelompoknya saja yang mengalami kesulitan imbas kehilangan rimba. Kelompok Suku Anak Dalam yang lain turut kehilangan sumber mata pencarian, serta tidak memiliki lahan untuk bertani atau berkebun skala besar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan.
“Mata pencarian yang ada, mencari brondolan. Maka dari pada itu, kami berpesan kepada yang berkuasa, tolong carikan mata pencarian kami yang lebih baik. Termasuk juga persoalan pendidikan. Kami suka anak kami sekolah supaya anak kami terbuka pemikirannya,” katanya.
Ingin pendidikan tinggi dan harmonis dengan masyarakat lainnya
Jurai mengatakan kelompoknya sudah lebih terbuka untuk kemajuan. Perempuan Suku Anak Dalam pun sudah bisa menempuh pendidikan di luar.
“Kami ingin anak kami kalau belum selesai sekolah, belum boleh menikah. Kito pingin macam orang luar. Orang luar meski tidak ada tanah, bisa hidup, jadi polisi, bidan, guru,”
Ia berharap pemerintah membantu anak-anak Suku Anak Dalam untuk menempuh pendidikan. Tidak hanya sekolah digratiskan, tetapi juga ongkos dan kebutuhan akomodasi untuk anak dan orang tua.
“Untuk kemajuan, sayo berharap anak-anak bersekolah didukung sepenuhnya sampai selesai. Sebab, dananya besar. Kalau sekolah sudah gratis, tapi kan butuh bensin untuk antar anak dan sebagainya. Kalau tidak selesai, saat kembali ke Suku Anak Dalam itu nol lagi. Kalau keinginan sayo, sampai memajukan,” katanya.
Meski demikian, Suku Anak Dalam tetap berupaya mempertahankan nilai adat istiadat. “Tata adat masih kami pertahankan. Tetapi, kalau untuk ke depan, itu tidak terkai dengan adat. Itu cuma kemajuan,” kata Jurai.
Jurai juga berharap tidak ada lagi stigma yang berasal dari masyarakat luar di dusun. Kelompok adat ini menginginkan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan masyarakat luar.
“Saya sampaikan masyarakat di luar, seharusnya kita menjalin persahabatan. Jangan ada fitnah pencuri kek, bauk kek. Sekarang kami ada perubahannya,” katanya.
Leave feedback about this