Beselang.id adalah media independen nirlaba yang dikelola secara kolektif. Dukung dengan berdonasi agar kami terus bekerja demi kepentingan publik. Donasi melalui bit.ly/donasibeselang
Sudah banyak yang datang ke tempat kami,” kata Juray. “Tapi sama saja, tidak membawa perubahan untuk kelompok kami. Pejabat datang hanya kalau butuh suara kami saja. Kalau sudah jadi lupa.”
Juray bicara berapi-api di Balai Pertemuan Suku Anak Dalam (SAD) Pematang Kejumat, Kecamatan Batin VIII, Kabupaten Sarolangun, Jambi, pada Ahad (20/7/2025). Juray adalah Tumenggung SAD Pematang Kejumat. Dalam persamuhan malam itu, ia menyampaikan keluh kesahnya, mulai dari sulitnya berobat di rumah sakit sampai sulit mencari penghidupan sumber ekonomi ia lontarkan.
Beberapa orang lelaki datang satu-persatu dan duduk di sebelahnya. Cerita Juray dan beberapa anggota kelompoknya yang menggebu-gebu tadi sempat mandek karena ada seekor induk kucing menggendok anak monyet nimbrung ke dalam balai pertemuan.
Usai kucing diambil yang punya, ia melanjutkan dan terus mengoceh tentang kehidupan sukunya. “Pemerintah itu sudah kami anggap seperti bapak, tapi tidak peduli dengan anak. Jangan lagi kami ini dibeda-bedakan,” Juray menghembuskan asap tembakau linting ke udara malam yang gerah, lalu meneruskan ceritanya.
“Hutan yang dulunya memberikan kami kehidupan sudah hilang, ganti sawit semua. Sekarang kami untuk makan hanya mengandalkan cari brondol sawit di kebun orang,” kata Juray.
Padahal jauh sebelum sawit datang, mereka berburu hewan dan mecari sumber ekonomi di hutan, kecuali menebang pohon. Apapun yang bisa mereka ambil di hutan, mereka akan ambil. Nenek moyang masyarakat adat Orang Rimba atau SAD terbiasa hidup semi nomaden. Kehidupannya menjelajah dari hutan ke hutan denga budaya berburu dan meramu.
Mereka berinteraksi dengan penduduk desa di sekitar hutan untuk menukar hasil buruan di hutan. Hasil berburu di hutan seperti jernang, rotan, damar, madu, atau hewan buruan, akan ditukarkan dengan barang untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa mereka didapatkan di dalam huan seperti garam, peralatan masak, kain, hingga rokok.
Namun setelah hutan, tempat di mana dulunya mereka mencari makan digerus tanaman monokultur, sumber pangan Orang Rimba kini terancam. Akhirnya mereka dihadapkan pada pilihan untuk tinggal menetap dirumah yang dibangun pemerintah.
Dalam satu dekade terakhir, pemerintah memang gencar merumahkan Orang Rimba, tanpa memberikan lahan penghidupan. Tumenggung Juray dan anggota kelompoknya telah menetap di pemukiman sejak 2019. Total ada sekitar 17 kepala keluarga yang mendiami pemukiman tersebut.
Budaya berburu luntur. Sekarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari memungut brondolan–buah sawit yang rontok dari tandan. Ketika pohon kelapa sawit ada di mana-mana, ditambah harga jual brondolan yang menjanjikan, membuat mereka pun ikut terjun menjadi pemburu brondolan. “Mungut brondolan di kebun sawit orang desa, karena kami tidak punya kebun sawit,” kata Juray.
Tapi memungut brondolan itu kata Juray, menemui tantangan. Pemilik kebun kadang ada yang tidak membolehkan mereka memungut brondolan. Jika tidak dibolehkan, mereka akan mundur, dan terus mencari kebun yang oleh pemiliknya diizinkan untuk dibrondol. Sehingga, tak jarang mereka harus menempuh belasan kilometer dari kebun ke kebun.
“Kami selalu dituduh mencuri brondolan, padahal kan kami hanya mengambil yang sudah jatuh,” kata Juray.
Sebelum menemui kelompok Juray, kami lebih dulu bertemu dengan SAD kelompok Tumenggung Yudi, juga sama menghadapi persoalan yang sama.
Penyarak, seorang perempuan SAD yang mengaku berusia 60 tahun mengatakan, dia terpaksa mengutip brondolan di kebun warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Baginya itu mesti dilakukan karena tak ada pilihan lain. “Kalau tidak brondol tidak bisa beli beras,” kata Penyarak.
Penyarak dan belasan perempuan SAD lainny mengiyakan bahwa untuk memenuhi kebutuhannya itu mereka ikut brondol bersama suami. Dari pagi sampai sore, mereka memungut brondol di kebun sawit orang.
Kebiasaan brondol itu sering kali menghadapi tantangan. Pemilik kebun kadang kala mengizinkan, ada juga yang tak mengizinkan. Penyarak menolak jika mereka disebut mencuri brondol. Dia terlebih dulu akan bilang kepada pemilik kebun. “Kalau yang punya tidak boleh, kami pergi. Cari kebun lain yang boleh diambil brondolnya,” kata Penyarak.
SAD telah kehilangan wilayah jelah untuk mencari sumber makanan. Sumber nutrisi yang dulu sangat mudah mereka dapatkan, kini tak ada pilihan lain selain mencari rontokan sawit. Brondolan sawit itu mereka kumpulkan dalam karung, yang kemudian dijual ke tauke. “Jual langsung dapat uang, sekarang ini sedang mahal,” kata Tumenggung Yudi.
Selain soal sumber ekonomi yang masih berkelindan di kehidupan mereka, masalah kesehatan pun turut jadi persoalan yang butuh perhatian. Kepala Desa Pelakar Jaya Ayip mengatakan, untuk mengatasi persoalan kesehatan ini, pihaknya membentuk kader Posyandu. Kader ini akan turun ke lokasi pemukiman. “Di wilayah SAD desa kami ini masih ditemukan stunting, ini yang harus kita pantau rutin untuk asupan gizinya,” kata Ayip di ketika ditemui di lokasi pemukiman SAD di Pelakar Jaya.
Evolusi

Saat hutan berganti turut mengubah pola budaya, sosial, dan ekonomi Orang Rimba. Dalam perspektif Antropolog KKI Warsi Robert Aritonang, Orang Rimba harus dilihat sebagai satu etnis yang memiliki budaya atau cara hidup yang berbeda dengan masyarakat umum. Tapi sayang, budaya itu sekarang tidak cocok dipraktekan di dalam ekosistem yang tidak berhutan.
“Padahal hutan itu dulunya adalah yang paling fundamental, mulai dari ritual dan segala macamnya itu mereka lakukan di hutan,” kata Robert ketika ditemui di kantornya.
Dalam menghadapi perubahan tatanan sosial dan ekologi yang begitu cepat ini menurut Robert, membuat Orang Rimba gagap dan sering apatis merespon perubahan. Pilihannya mereka harus mengikuti pola sosial dengan warga.
“Budaya tidak bisa beradapatasi secepat itu, budaya itu adalah bagian norma dan harus berevolusi supaya menjadi bagian dari normanya mereka,” kata Robert.
“Saat terjadi perubahan ekologi seperti itu mau tidak mau mereka harus berubah, tapi sayangnya itu terlalu cepat. Bayangkan hanya dalam jangka waktu 20 tahun hutan ludes. Jadi tidak bisa evolusi tapi itu harus revolusi,” sambung Robert.
Robet berpandangan dalam mencarisumber ekonomi mengapa Orang Rimba sekarang lebi suka membrondol sawit. Praktik ini kata dia, tidak jauh beda dengan budaya berburu dan meramu yang dulunya dipraktikan oleh mereka. Itu mereka lakukan sehari-hari, setelah brondol terumpul mereka jual ke tauke dan hari itu langsung dapat uang.
“Dalam praktik hidupnya sekarang sama seperti budaya berburu dan meramu. Ada brondolan sawit pungut, ada barang bekas pungut, ada durian jatuh ambil,” kata Robert.
Dia mengkhawatirkan budaya brondol Orang Rimba ini akan menjadi bom waktu. Jika tidak ada solusi struktural, maka konflik akan terjadi antara Orang Rimba dengan korporasi, dan penduduk desa.
“Konflik pasti dikhawatirkan karena dalam artian masyarakat umum kalau mungut brondolan dikebun orang lain kalau tidak ada izin itu maling. Tapi dalam sudut pandang Orang Rimba itu bukan (mencuri), mereka (Orang Rimba) punya anggapan apa yang sudah jatuh ya itu milik bersama,” ujar Robert.
“Mereka punya argumentasi subtansial, mereka bisa bilang yang maling tanah mereka itu perusahaan dan orang luar.”
Konflik Berulang
Jika dahulu Orang Rimba berburu di hutan, kini kebiasaan mereka beralih. Sumber pangan di hutan dilibas pemerintah dan diberikan izin kepada konsesi perusahaan.
Syahdan guna memenuhi kebutuhan dapur, saban hari mereka mengandalkan memungut rontokan sawit. Bukan di kebun miliknya sendiri, melainkan di kebun orang lain. “Kalau tidak brondol, kami tidak bisa beli beras,” kata Penyarak.
Tumenggung Ngilo mengamini peryataan Penyarak. Menurut Ngilo, tak ada pilihan lain sumber ekonomi selain dari mungut brondol. Bahkan mereka rela pergi jauh belasan kilometer untuk mencari brondolan, terkadang sampai lintas kabupaten.
“Kami sering dituduh sebagai pencuri, padahal orang PT yang mengambil hutan penghidupan kami,” kata Ngilo.
Akibatnya konflik berulang tak terelakan. Pada tahun ini saja dilaporkan telah terjadi dua konflik antara Suku Anak Dalam dengan korporasi kelapa sawit.
Pada 29 April, satu orang SAD bernama Pelajang tewas setelah dikeroyok sekurity perusahaan dan massa di Desa Betung Berdarah, Kecamatan Tebo Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi. Massa menuduh kelompok SAD asal Merangin itu mencuri brondolan di wilayah perusahaan.
Kemudian pada 8 Agustus, SAD dari kelompok Tumenggung Pemubar di keroyok massa dan satpan perusahaan kelapa sawit di Merangin. Warga SAD bernama Sitingak mengalmi luka bagian kepala dan tiga motor mereka hancur. Mereka dituduh mencuri brondolan di area perusahaan.
Konflik berulang ini bukan semata kekerasan individual. Tetapi ketidakadilan struktural. Bagi komunitas yang kehilangan hutan, kehilangan akses hidup, penyelsaian dengan uang itu bukan solusi. Yang dibutuhkan adalah jaminan kehidupan jangka panjang.
Robert mengatakan bahwa tanpa solusi struktural yang menjamin sumber penghidupan Orang Rimba, konflik-konflik seperti ini akan terus berulang.
Konflik ini menyisakan pesan mendalam bagi negara. Ketika hutan hilang, kemanusiaan pun ikut tergusur. Pembangunan seyogyanya berfungsi untuk memakmurkan semua penduduk, justru yang terjadi ketimpangan dan ketidakadilan.
“Orang Rimba bargainingnya lemah, suaranya sedikit. Dan suara LSM tidak selalu kuat untuk mempengaruhi kebijakan. Jadi yang dibutuhkan ada pertimbangan dan kemauan politik dari negara,” kata Robert.