Beselang.id adalah media independen nirlaba yang dikelola secara kolektif. Dukung dengan berdonasi agar kami terus bekerja demi kepentingan publik. Donasi melalui bit.ly/donasibeselang
Kisah Adaptasi Orang Rimba di Tengah Gempuran Perkebunan Sawit
Tatapan sapi jantan itu menyalak ketika kami tiba di padang gembala, yang berada tak jauh dari sudung–tempat tinggal pondok terpal semi permanen milik kelompok Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi, Senin (21/7/2025). Gino, sang empunya sapi mewanti agar kami tak ikut mendekat.
“Itu galak, jangan dekat-dekat nanti diseruduk,” kata Gino di lokasi angonan sapinya di dekat sungai kecil. Dia memanggil sapinya itu dengan sebutan “Mek mek mek….”. Usut punya usut sapinya diberi nama mek. Dikasih nama panggilan supaya jinak, katanya.
Di lokasi padang gembala itu rumput hijau menghampar seluas setengah lapangan bola kaki, sedikit kontras dengan tegakan batang kelapa sawit di kelilingnya. Gino memindahkan sapi jantan itu menjauh supaya bisa mengunyah rumput yang masih tebal. Usai sapi jantan ditambatkan, kemudian dia menghampiri sapi betina lainnya yang sudah jinak.
Muka sapi betina itu lantas dielus-elus Gino. Sangking jinaknya, sapi itu pun menjilati tangan tuannya yang berkeringat. “Keringat sayo asin, sepertinya dia (sapi) ini butuh minum air garam,” Gino terkekeh, dan kami mengiyakan apa yang dimaksud Gino.
Gino–begitu panggilannya di Rejosari. Dia tak mengetahui pasti berapa usianya. Sebab saat lahir, orang tuanya tak langsung membuatkan akte. Gino adalah satu diantara Orang Rimba dari anggota kelompok Tumenggung Minan.
Era pembangunan dan investasi besar-besaran perkebunan kelapa sawit telah mengubah tradisi Orang Rimba. Tradisi berburu dan meramu perlahan enyah. Hewan buruan semakin langka.
Kini mereka mulai berevolusi dan membaur dengan warga transmigrasi. Kondisi inilah yang mendesak Orang Rimba harus beradaptasi.
Di kelompoknya, Gino dianggap berhasil menjadi peternak sapi. Ternak sapi telah dilakoni sejak 2020. Dari semula punya satu ekor, sekarang sapinya sudah beranak pinak. Gino pernah memelihara sampai sembilan ekor sapi. Tapi tiga ekor sebelumnya telah dijual. Kini tersisa enam ekor yang masih diangon.
“Sekarang punya enam ekor. Waktu lebaran haji tahun ini jual satu ekor, dapat uang Rp17 juta. Duitnya untuk kebutuhan sekolah anak, dan sisanya ditabung,” ujar Gino.
Gino bercerita, angon sapi terinspirasi dari penduduk transmigrasi. Sebelum memelihara sapi, ia dulu lebih banyak sering berburu babi. Waktu itu babi masih banyak. Namun sadar hutan rimba telah tiada, ia mulai beradaptasi dengan orang luar. Dari situlah, ia mulai mengumpulkan duit untuk beli indukan sapi.
“Dulu sempat punya tabungan uang hasil jual buruan babi. Uang tabungan itu langsung saya belikan sapi,” kata Gino.
Syahdan, jejaknya yang sukses menggembala sapi itu diikuti oleh Orang Rimba lain di kelomponya. Kini kata Gino, ada sekitar 20-an ekor sapi yang sedang diternak oleh anggota Orang Rimba di kelompok Tumenggung Minan. Menurut Gino, hasil ternak sapi itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu hasilnya ia sisihkan untuk membeli kebun.
“Kami juga ingin punya kebun, tidak mungkin selamanya kami hanya memungut berondolan di kebun sawit orang,” kata Gino.
Jadi Linmas
Gino sudah mahir berbahasa Indonesia. Bahkan ia juga lancar bahasa Jawa karena banyak aktif bergaul dengan warga transmigrasi di desanya. Kaos yang dikenakan juga bertuliskan bahasa jawa “Cah Jero” yang artinya anak dalam. Gino juga menjadi pelatih persatuan silat. Selain ternak sapi, kini ia juga sibuk menjadi anggota Linmas atau Hansip di Desa Pelakar Jaya.
Gino telah menembus sekat Orang Rimba dianggap sebagai manusia yang terbelakang dan tidak memiliki kemampuan. Gino pun telah diangkat oleh Kepala Desa Rejosari Yuli Widodo menjadi anggota Perlindungan Masyarakat (Linmas).
Dia menjadi satu-satunya anggota Linmas dari Suku Anak Dalam (SAD). Ia berperan sebagai gara terdepan dalam menjaga keamanan dan keterbitan sosial. Jika ada acara besar di desa, dia selalu menjaga ketertiban. “Kadang kalau ada hajatan atau pesta, saya ikut mengatur lalu lintas,” kata Gino.
Kepala Desa Rejosari Yuli Widodo mengatakan, populasi SAD di desanya berjumlah 10 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah sebanyak 36 jiwa. Menurut dia, kelompok SAD memiliki potensi dan kemampuan yang tak boleh diabaikan.
Yuli Widodo menjelaskan, kelompok SAD selama ini telah membaur dan diterima oleh masyarakat desa. Hal ini yang turut mendorongnya merekrut Gino menjadi anggota Linmas. “Supaya yang lain (SAD) termotivasi,” kata Yuli.
Semua SAD di Rejosari telah tercatat sebagai penduduk desa dengan bukti administasi kependudukan. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari dana desa juga dialokasikan untuk kelompok SAD. Yuli mengakui, pemerintah desa tidak lagi membeda-bedakan antara warga desa dengan kelompok SAD.
Menurut dia, SAD yang tidak mampu berhak mendapat bantuan dari pemerintah, baik itu bantuan tunai ataupun dalam bentuk sembako. Terlebih semua SAD di desanya juga telah tercacat sebagai warga negara Indonesia.
Selain itu, mereka sudah hidup menetap, meski saat ini masih tinggal di bawah pondok terpal di kebun warga. Kelompok SAD di Rejosari juga telah memiliki KK dan KTP, sehingga berhak menerima bantuan. “Kemudian saat musyawarah pembangunan, kelompok SAD ini kami udah untuk berpartisipasi,” ucap Yuli.
Tinggal di Sudung, Orang Rimba Hadapi Masalah Kesehatan

Belasan sudung–pondok atap terpal tanpa diding yang menjadi rumah anggota kelompok Orang Rimba Tumenggung Minan berdiri menumpang di kebun kelapa sawit warga di Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi. Jaraknya hanya sepelemparan batu, berpencar dari sudung ke sudung.
Akses ke sudung Orang Rimba itu cukup mudah. Lokasinya dapat diakses lewat jalan pabrik kelapa sawit. Saat musim kemarau jalan berdebu akibat truk muatan kelapa sawit saban hari melintasi.
Senin sore (21/7/2025) ketika tiba di sana, kami tak sempat bertemu dengan Tumenggung. Kami disambut Gino dan Ngilo di sisi kanan sudung milik Tumenggung Minan. “Tumenggungnya belum pulang,” kata Ngilo.
Tanpa basa-basi, mulut Ngilo langsung nyerocos. Kata-katanya membuncah ketika bercerita tentang kondisi Orang Rimba. Semua unek-uneknya ia tumpahkan. Tanpa tedeng aling-aling, ia bercerita hidup Orang Rimba sekarang semakin sengsara.
Sekarang lebih sengsara dibuat oleh PT (perusahaan) dan negara. Tolong ini dipertimbangkan betul-betul. Hidup kami sulit. Kami dituduh mencuri saat kami mengutip berondolan. Bahkan sampai ada korban jiwa ketika kami berusaha nyari makan,” kata Ngilo.
“Hati negara, hati pemerintah itu di mana? Inilah suku rimba, tapi rimbanya sudah habis yang dihancurkan oleh orang yang di atas sana. Jangan cuma datang nengok-nengok kesusahan kami ini. Tapi dipikirkan betul-betul. Kami sudah susah sekali pak.”
Kelompok masyarakat adat Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) kelompok Tumenggung Minan menjadi satu=satunya kelempok di Merangin yang masih bertahan tinggal di sudung. Sudah hampir tiga tahun ini mereka menetap tinggal di sudung. Beruntung mereka tak diusir pemilik kebun.
“Cuma kalau yang punya kebun panen sawit kita harus ngalah. Kadang pondok remuk tertimpa pelepah sawit,” kata Gino.
Kondisi lingkungan dan tempat tinggal mereka masih menjadi tantangan. Kelompok ini rentan terhadap penyakit. Begitu pula faktor alih fungsi hutan dan deforestasi turut memperburuk kualitas hidup kelompok Orang Rimba.
Pada medio 2023, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi bersama petugas kesehatan gabungan Dinas Kesehatan Merangin memeriksa tes tuberkolosis bagi kelompok Tumenggung Minan. Hasilnya, mereka menemukan 11 anak Orang Rimba terjangkit tuberkolosis.
Anak-anak yang dinyatakan terpapar tuberkololis itu kemudian dianjurkan mengonsumsi obat selama sebulan. Namun, dari 11 anak yang terpapar tersebut hanya satu orang anak yang melanjutkan minum obat yang diberikan petugas. Hal ini karena mereka harus mengikuti orang tuanya berpindah tempat.
Paparan tuberkolosis mengagetkan Orang Rimba. Sebab, selama ini mereka tak pernah menemukan penyakit menular yang disebabkan oleh kontak langsung.
Kepala Dinas Kesehatan Merangin Sony Propesma membenarkan, tuberkolosis (TB) paru dan stunting merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di komunitas Orang Rimba. Pihaknya kini, telah menambah ruangan rawat inap untuk kelompok tersebut. “Kita siapkan ruangan khusus, karena seringkali dari mereka kalau ada yang sakit pasti keluarganya yang datang banyak. Sehingga, supaya tidak menggangu pasien lain, mereka kita tempatkan diruangan khusus,” kata Sony.
Kepala Desa Rejosari Yuli Widodo mengakui, Orang Rimba di desanya belum memiliki pemukiman sebagai tempat tinggal tetap. Saat ini mereka masih tinggal di sudung yang mereka dirikan di kebun sawit warga. Orang Rimba kelompok Tumenggung Minan menjadi satu-satunya kelompok yang saat ini masih tinggal di sudung.
Pemerintah desa sebut Yuli, sempat berencana ingin bikin pemukiman untuk Orang Rimba. Namun, terdapat kendala biaya untuk pembelian lahan. Anggaran melalui dana desa sambung Yuli, tidak bisa dialokasikan untuk pembelian lahan. Yuli berharap, pemerintah daerah dapat memebri dukungan afirmatif untuk memperbaiki kehidupan Orang Rimba secara berkelanjutan.
“Saya berharap kalau bisa tolong di desa kami ini ada dana afirmasi untuk SAD. Kami keterbatasan biaya untuk membangun pemukiman bagi mereka. Pemukiman ini sangat fundamental, kalau sudah ada rumah nanti perlahan bisa memperbaiki ekonomi mereka,” kata Yuli.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Merangin Andrie Fransusman, pihaknya selalu mendorong desa untuk mendapatkan dana afirmasi. Desa bisa mendapatkan dana afirmasi dengan catatan desa tersebut harus mempunyai keunggulan dan prestasi.
“Kita dorong juga Desa Rejosari bagaimana bisa mempunyai keunggulan dan prestasi dan bisa meyakinkan pemerintah daerah sehinggga nanti bupati bisa memberikan dana afirmasi,” kata Andrie.
Leave feedback about this