Laporan Mendalam

Cerita Masyarakat Desa Rantau Kermas Menjaga Hutan untuk Merdeka dari Energi Kotor

Dom atau tempat penjempuran kopi dapat menambung ratusan kilogram kopi pasca panen sebelum diproduksi menjadi kopi oleh BUMDES Kopi Serampas

BESELANG.ID – Selama puluhan tahun masyarakat berjuang menjaga hutan adat Kara Jayo Tuo, yang mengelilingi desa. Atas dedikasi menjaga hutan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), mereka menerima kuncuran dana dari bank dunia, untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) pada 2018.

“Dulu PLN tidak ada, setelah kami punya PLTMH mereka masuk, pasang tiang listrik dan tarik kabel. Saya tetap pasang untuk jaga-jaga,” kata Pelanggan PLTMH, Mira Wati di rumahnya, Senin (24/7/2023).

Ia menuturkan memang tidak banyak warga yang tertarik memasang listrik negara.Tidak hanya khawatir sering mati lampu, tingkat ekonomi warga yang beragam menjadi alasan mereka memilih PLTMH.

Perempuan 39 tahun ini, mengatakan tarif listrik yang harus dibayar setiap bulan menjadi pertimbangan utama warga, untuk tidak beralih ke listrik negara. Perbandingannya kata dia sangat siginifikan, dengan pemakaian yang sama, PLTMH hanya memungut iuran Rp50 ribu/bulan. Sementara PLN bisa mencapai angka Rp150-200 ribu.

“Bedanya memang jauh berkali-kali lipat. Belum lagi ada kebiasaan pemadaman bergilir. Itu yang membuat warga keberatan memasang PLN,” kata Mira.

Dirinya memasang PLN memang untuk berjaga-jaga, apabila suatu saat PLTMH mengalami kerusakan permanen, dirinya memiliki cadangan listrik dari PLN.

Merdeka dari Kegelapan

Sudah puluhan tahun PLN tidak masuk ke desa ini. Sehingga dulu ibu-ibu mencuci pakaian ke sungai dan membutuhkan waktu 1-2 hari untuk menjemur pakaian, itu pun masih tergantung sinar mentari. Sekarang setelah ada PLTMH dengan mesin cuci, mereka tidak repot ke sungai, hanya membutuhkan waktu 2 jam, baju bisa langsung dipakai.

Dulu, untuk menanak nasi masih bergantung kayu bakar. Sekarang sudah ada mejikom. Untuk mengawetkan daging terpaksa dipanggang di perapian dapur. Lalu mengawetkan cabai harus ditaruh di loteng rumah. Sekarang masalah itu beres dengan kulkas. Warga Desa Rantau Kermas pun merdeka dari kegelapan.

“Kalau rumah warga itu bayar. Tapi tarifnya murah sekali. Fasilitas umum desa semuanya gratis,” kata Mira.

Meskipun kapasitasnya kecil, pembangkit yang ramah lingkungan ini dapat menerangi 113 rumah warga, fasilitas umum seperti masjid, sekolah, rumah adat dan mengoperasikan alat produksi kopi, milik Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).

Selanjutnya, Ade Usman, bagian keuangan PLTMH Rantau Kermas menuturkan awalnya secara swadaya warga membangun listrik sendiri, tetapi tidak maksimal, sering rusak dan dayanya sangat kecil. Hidupnya terbatas hanya malam hari.

Setelah menerima dukungan dana dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dan Millennium Challenge Account Indonesia (MCAI), mereka membangun PLTMH dengan kapasitas 41 Kwh. Pembangunan dan pemasangan instalasi listrik menelan dana sekitar Rp3 miliar.

Meskipun PLTMH sudah dibangun pada 2018, kondisinya belum stabil karena sering rusak. Setelah pengelola memahami perawatan pembangkit dengan teknologi open flume, PLTMH dapat beroperasi maksimal selama 24 jam, pada tahun 2019.

Listrik memang sudah didamba orang kampung. Sebab para orangtua dulu, kata Ade harus pergi ke desa tetangga untuk menonton televisi, dengan berjalan kaki puluhan kilometer. Sekarang televisi sudah ada di ruang tamu seluruh warga bahkan ada dalam kamar masing-masing anggota keluarga.

“Anak-anak sekarang punya banyak pengetahuan tentang dunia luar melalui televisi, sementara anak dulu informasi hanya didapat di bangku sekolah, guru ngaji dan para orangtua,” kata Ade.

Tidak hanya itu, ekonomi warga juga berkembang dengan adanya PLTMH. Tidak hanya produksi Kopi Serampas milik Bumdes, tetapi usaha perbengkelan sudah maju dengan adanya mesin las. Begitu juga perkakas pertukangan yang sekarang menggunakan listrik.

“Kalau mau rombak motor agar bisa muatan banyak mengangkut padi atau kopi dan memperbaiki mesin bajak sawah yang rusak kita harus pergi sejauh 20 kilometer. Sekarang sudah ada di kampung,” kata Ade.

Berkat PLTMH yang mereka bangun, warga telah menikmati mesin pencuci baju, setrika, mejikom, kulkas dan televisi serta banyak lampu pijar yang terpasang dalam rumah.

“Walau berlimpah listrik, sampai sekarang 78 tahun Indonesia merdeka. Kami belum punya sinyal. Kalau mau pakai handphone android, terpaksa naik ke atas bukit. Di dalam kampung, sinyal hilang,” kata Ade.

Meskipun warga memasang banyak lampu, menggunakan kulkas, mesin cuci, setrika, mejikom dan kipas angin sepuasnya, bahkan secara bersama-sama dalam sehari, mereka tetap membayar murah, dengan tarif Rp60 ribu/bulan.

“Ada banyak kategori pelanggan, yang dominan itu C2 dengan total 96 pelanggan dan tarifnya hanya Rp60 ribu/bulan,” kata Ade.

Sementara pelanggan dengan kategori C4, tarif Rp80 ribu/bulan sebanyak 16 pelanggan. Untuk rumah yang menggunakan fasilitas listrik ini, memang ditambah untuk usaha seperti peralatan las dan alat-alat pertukangan.

Untuk pelanggan C6 hanya seorang dengan tarif Rp100 ribu/bulan, karena rumahnya besar dan memiliki banyak peralatan eletronik di dalamnya serta untuk menunjang usaha.

Fasilitas umum yang gratis menggunakan listrik adalah rumah ibadah, sekolah, mushola, Bumdes, penginapan atau (homestay), kantor desa, rumah adat (tempat acara adat dan gedung pernikahan).

Selain tidak memberatkan pelanggan, PLTMH juga tidak rewel. Sehingga biaya perawatan mesin dan dana operasional rutin, sudah termasuk gaji karyawan hanya sekitar 10-15 juta setiap tahun.

“Uang yang masuk dari pelanggan setiap tahun mencapai Rp40 juta. Setelah uang perawatan dan operasional dikeluarkan, kalau tidak ada kerusakan peralatan mesin seperti kelahar atau turbin, sisanya disimpan masuk uang kas,” kata Ade.

Pengeluaran cukup besar apabila terjadi kerusakan pada kelahar, dinamo dan turbin. Ketika rusak secara bersamaan, bisa menghabiskan dana sebesar Rp10 juta. Total dana kas PLTMH sekarang mencapai Rp75,3 juta dari pembukuan lama.

Untuk pembukuan pengurus baru memang belum dihitung karena ada kerusakan mesin, yang menghabiskan dana Rp4,6 juta. Namun dapat diperkirakan jumlah kas melebihi angka Rp100 juta.

“Dalam mengelola PLTMH, pendapatan lebih besar dari pengeluaran, perbandinganya lebih dari 300 persen. Secara bisnis sangat menguntungkan,” kata Ade.

Gangguan hanya terjadi saat banjir besar karena ada sampah yang menggangu kinerja turbin. Sehingga harus dimatikan paling lama 15 menit, kemudian hidup kembali setelah semua sampah dibersihkan.

Hanya mengalami kendala ketika kemarau lebih dari 6 bulan, karena debit air di sungai akan turun. Sehingga aliran air tidak bisa masuk ke turbin. Meskipun belum pernah terjadi, solusinya juga mudah, dengan menggali badan sungai dengan alat berat, agar air kembali mengalir ke saluran turbin.

Ade meyakini dengan terjaganya hutan di sisi Sungai Batang Langkup, tempat mesin PLTMH berada, air tidak akan pernah kering. Ada puluhan mata air, yang mengalir secara langsung ke sungai yang berada di belakang desa itu.

Berjuang Jaga Hutan

Sementara itu, Ketua Pengelola Hutan Adat Kara Jayo Tuo, Agustami menuturkan pembangunan PLTMH memang dibantu bank dunia, lantaran masyarakat desa berhasil menjaga hutan adat, yang mengelilingi desa.

Keberadaan hutan adat Desa Rantau Kermas sangat penting, karena sebagai penyangga TNKS. Bahkan sejumlah hewan dilindungi seperti kambing hutan, rangkong, harimau sumatera, rusa, kijang, ayam utan serta satwa endemik seperti burung bayan dan lirung yang masih hidup alami dalam hutan.

Kesadaran warga tumbuh setelah ada peristiwa banjir bandang pada 1974. Meskipun tidak ada korban jiwa, hampir separuh warga mengungsi keluar desa. Bahkan sekarang telah mendirikan desa baru, bernama Desa Renah Alai.

Banjir bandang begitu lekat dalam ingatan warga. Para orangtua selalu menceritakan peristiwa banjir bandang ke anak cucu. Sebenarnya banjir bandang murni karena tingginya curah hujan. Tetapi dengan adanya hutan di hulu kampung, membuat terjangan air tidak menghantam rumah-rumah.

Semenjak peristiwa itu, kata Agus, para tetua desa akhirnya bersepakat, secara adat akan menjaga kawasan hutan yang berada di bagian utara dan selatan desa. Kesepakan itu turun menjadi hukum adat, yang berbunyi setiap orang yang menebang pohon akan didenda 1 ekor kambing, duit Rp500 ribu, beras 20 gantang dan lemak semanis.

Untuk mengelola hutan, warga patuh pada ajum arah atau kearifan lokal yang mengatur zonasi area adat seperti Hulu Aik, Tanah Ngarai, Padang Berbatu, Tanah Negeri dan Tanah Ladang. Area hutan dikelola sesuai fungsinya dengan bijaksana. Sehingga aksi perambahan hutan yang merusak mata air dan mengancam PLTMH dapat dimitigasi secara dini.

Agus menuturkan ancaman terhadap kerusakan hutan datang dari desa tetangga, yang sudah ‘dijarah’ perambah. Untuk melindungi hutan di Desa Rantau Kermas, di rumah adat warga sepakat melarang warga pendatang dari Selatan, untuk menikah, bekerja atau masuk ke desa mereka.

“Pernah ada anak kampung sini (Rantau Kermas) menikah dengan orang dari Selatan. Iya sesuai aturan adat, mereka harus keluar dari desa. Mereka sudah mengusir dirinya sendiri,” kata Agus.

Kelestarian alam lebih bernilai, karena untuk kepentingan kolektif bukan pribadi. Sehingga wajar mereka meninggalkan kampung agar tidak membahayakan hutan dan ruang hidup banyak orang.

Hutan yang terjaga dengan baik ini, kata Agus telah mendatangkan manfaat yang banyak. Dengan skema pohon asuh, pengelola hutan adat mampu memberikan santunan kepada Lansia, Anak yatim, kelompok disabilitas, kemudian merenovasi rumah adat, majelis taklim, madrasah, masjid dan membangun jalan menuju destinasi Danau Depati IV.

Total penghasilan dari pohon asuh mencapai Rp30 juta setiap tahun. Memang angkanya masih kecil, tetapi tahun ini sudah ada 2.000 pohon dalam hutan seluas 130 hektar, yang bisa diasuh oleh semua orang mulai dari pejabat, selebriti, pemain bola sampai dengan masyarakat secara umum.

“Artis Korea, BTS itu sudah ada yang mengasuh pohon di sini. Saya optimis, penghasilan dari menjaga hutan ini, akan terus bertumbuh,” kata Agus.

Mengapa masyarakat tidak mau menebang hutan, karena mereka sudah merasakan manfaatnya secara langsung yakni melalui setrum PLTMH. Kemudian sawah mereka tidak pernah kekeringan, terhindar dari longsor dan banjir.

Hal senada disampaikan Ledia Misnawati penjaga hutan perempuan, yang pernah menangkap perambah dua tahun lalu. Warga yang membuka hutan untuk ladang itu, tidak mengetahui batas hutan adat.

“Warga (pelaku) itu sangat kooperatif. Bahkan cinderung malu, karena telah menebang hutan. Dan dia bersedia menjalani hukum adat,” kata Ledia.

Menurut perempuan berusia 31 tahun ini, hutan memang dari dulu telah menjadi ruang hidup warga Desa Rantau Kermas. Meskipun banyak desa-desa yang sudah merambah hutan, tetapi hutan di desa ini masih aman.

Meskipun warga dilarang keras membabat hutan, kata Ledia mereka tetap boleh membuka kebun untuk menanam kopi. Desa ini sudah memiliki ajum arah untuk kebun, sawah, sumber air, hutan yang harus dilindungi sesuai dengan keputusan Depati Kara Jayo, tetua pertama orang Rantau Kermas.

Perkebunan kopi warga, terletak di sebelah barat dan timur desa. Warga bebas berkebun untuk mencukupi kebutuhan ekonomi.

Berdaya dalam Ekonomi

Sementara itu, Pengurus Bumdes Kopi Serampas, Rini Andini menuturkan ekonomi warga berubah semenjak kehadiran PLTMH. Dari awalnya warga hanya menjual kopi mentah (belum diolah). Sekarang dengan adanya listrik nilai ekonomi kopi juga semakin meningkat, setelah diolah.

Bumdes Kopi Serampas menampung kopi-kopi petani dengan harga di atas pasaran. Tidak hanya warga Desa Rantau Kermas, kopi warga desa tetangga juga ditampung.

Sebelum pandemi memang petani kopi banyak cuan, karena Bumdes mampu menjual kopi hingga 3 ton jenis grean bean, kemudian 700 kilogram untuk roast bean dan bubuk premium sekitar 1 ton.

“Penjualan mengalami penurunan drastis saat pandemi, bahkan tidak ada kopi yang terjual. Sekarang kami bangkit kembali, untuk mencari pasar, tetapi masih terkendala sinyal tidak ada di dalam kampung,” kata Rini.

Ia mengatakan meskipun Desa Rantau Kermas telah memiliki listrik, warga memiliki banyak handphone android, tetapi sinyal tidak ada.

Banyak pelanggan akhirnya membatalkan pesanan Kopi Serampas, karena pengelola Bumdes tidak bisa dihubungi 1-2 dua hari. Sinyal baru ada setelah naik ke kebun atau pergi ke desa tetangga.

Sedangkan pembeli kopi dari luar membutuhkan pasokan kopi dengan cepat. Dengan begitu dibutuhkan komunikasi yang baik. Tentu itu membutuhkan sinyal yang kuat.

Jasa pengiriman belum ada di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi. Mereka hanya mengantar paket, tetapi tidak ada outlet yang tersedia untuk mengirim paket dari kampung kami menuju Kota Bangko, Jambi, Jakarta bahkan ke luar negeri, kata Rini.

Dengan begitu Bumdes Kopi Serampas kalah bersaing dengan daerah lain untuk promosi dan pengiriman barang. Sehingga sangat berpengaruh kepada penjualan kopi.

Padahal dengan dukungan listrik PLTMH, pengelola Bumdes dapat memproduksi kopi bubuk sebanyak 300 kilogram/hari. Sedangkan untuk roast bean bisa mencapai 900 kilogram/harinya.

Untuk saat ini, kapasitas produksi yang tinggi masih belum berimbang dengan angka penjualan yang masih rata-rata sekitar 300-500 kilogram setiap bulan.

Rendahnya angka penjualan kopi membuat Bumdes Kopi Serampas kesulitan untuk bertahan. Badan usaha skala kecil ini memperkerjakan 10-15 orang. Mereka bertugas menghimpun kopi dari petani, penjemuran di dom, menyortir biji kopi, produksi, kemasan dan promosi.

Harga Kopi Serampas sangat beragam tergantung jenisnya, seperti  produk grean bean Rp50 ribu/kilogram, roast bean Rp180 ribu/kilogram, bubuk premium 150 ribu/kilogram dan bubuk ekonomis Rp100 ribu/kilogram.

Merdeka dari Energi Kotor

Kesuksesan warga Desa Rantau Kermas hanya bagian kecil dari upaya negara untuk melakukan transisi energi dengan meninggalkan energi kotor. PLTHM yang mereka bangun tidak hanya menerangi, tetapi menghidupkan ekonomi di desa, daerah perbatasan yang jauh dari hingar bingar perkotaan.

Berdasarkan data dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) potensi energi terbarukan di Provinsi Jambi mencakup air yang menghasilkan setrum 447 MW, kemudian bioenergi 1.840 MW, lalu surya 8.847 MW dan panas bumi 621 MW serta bayu/angin 37 MW.

Pada akar rumput, sejumlah daerah sudah berhasil mengembangkan energi terbarukan dengan skema PLTMH, termasuk Desa Rantau Kermas. Namun pemanfaatan energi bersih belum optimal dilakukan pemerintah daerah, sehingga sektor batu bara dan gas masih mendominasi energi di Jambi.

Dengan tingkat eletrifikasi yang mencapai 99 persen di Jambi, daya listrik yang digunakan masih bergantung pada energi fosil. Sehingga cadangan energinya apabila terus dieksploitasi akan habis. Tidak hanya itu, penggunaan energi fosil dapat memicu pemanasan global dengan cepat. Maka, negara-negara di dunia telah sepakat untuk secepatnya melakukan transisi energi.

Provinsi Jambi sendiri mempunyai target transisi energi daerah sebesar 24 persen di tahun 2025 dan 40 persen di tahun 2050. Target ini sudah ditetapkan dalam Perda No. 13 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2019-2050.

Kepala Bidang Energi pada Dinas ESDM Provinsi Jambi Setyasmoko Pandu Hartadita menuturkan penggunaan energi terbarukan di Jambi saat ini masih jauh dari target 24 persen pada 2025. Pasalnya, pada tahun ini saja, realisasinya baru mencapai mencapai 15,29 persen.

Pandu merinci untuk penggunan energi terbarukan masih relatif kecil. Energi terbarukan hidro/air yang terpasang baru mencapai kapasitas 1,1 MW, sedangkan bioenergi 36,2 MW, kemudian surya 0,68 MW.

“Untuk meningkatkan transisi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan, kita masih menemui banyak kendala seperti keterbatasan sumber-sumber pendanaan, sumber daya manusia, dan keterbatasan informasi,” saat workshop jurnalis terkait transisi energi di Jambi, awal Juli lalu.

Indonesia semakin menua dan berdaya. Dampak pemanasan global semakin nyata. Sehingga berjuang untuk merdeka dari energi kotor harus dilakukan sekuat tenaga. Warga Desa Rantau Kermas yang berada di daerah perbatasan dan pedalaman sudah merdeka dari kegelapan serta energi kotor bahkan mulai berdaya secara ekonomi.

78 tahun Indonesia merdeka. Semua pihak berharap banyak desa-desa lain mencicipi manisnya energi bersih, selayaknya warga Desa Rantau Kermas.

Penulis

  • Suwandi Wendy

    My name is Suwandi Wendy. I have also joined the Alliance of Independent Journalists (AJI) Jambi since 2018. I focus on covering the environment, human rights, history and gender diversity. I have participated in various trainings, including: Fact Check (Kompas.com & Google News Initiative), Finance Investigative (Responsibank & Center for Investigative Journalism) and data and science journalism (SISJ and US Embassy). In addition, I also received scholarships, including 1. Fellowship on human rights and disinformation with SouthEast Asia Press Alliance (SEAPA) (2018) 2. Fellowship on gender diversity with AJI Indonesia and the Ardhanary Institute (2019) 3. fellowship to investigate environmental crimes on peatlands (World Resources Institute & AJI Jakarta) 4. Emergency Fund with National Geographic (2021). Earth Journalism Network Asia-Pacific Story Grant for Youth (2022), Rainforest Journalism Fund, Pulitzer Center (2023), Earth Journalism Network Asia-Pacific Story Grant to Support Coverage of One Health (2023) and Pulitzer Center on Climate Crisis Reporting (2024).

    Lihat semua pos
My name is Suwandi Wendy. I have also joined the Alliance of Independent Journalists (AJI) Jambi since 2018. I focus on covering the environment, human rights, history and gender diversity. I have participated in various trainings, including: Fact Check (Kompas.com & Google News Initiative), Finance Investigative (Responsibank & Center for Investigative Journalism) and data and science journalism (SISJ and US Embassy). In addition, I also received scholarships, including 1. Fellowship on human rights and disinformation with SouthEast Asia Press Alliance (SEAPA) (2018) 2. Fellowship on gender diversity with AJI Indonesia and the Ardhanary Institute (2019) 3. fellowship to investigate environmental crimes on peatlands (World Resources Institute & AJI Jakarta) 4. Emergency Fund with National Geographic (2021). Earth Journalism Network Asia-Pacific Story Grant for Youth (2022), Rainforest Journalism Fund, Pulitzer Center (2023), Earth Journalism Network Asia-Pacific Story Grant to Support Coverage of One Health (2023) and Pulitzer Center on Climate Crisis Reporting (2024).

Leave feedback about this

  • Quality
  • Price
  • Service

PROS

+
Add Field

CONS

+
Add Field
Choose Image
Choose Video