Halmi malam itu mengecek perkebunan kelapa sawit miliknya di Desa Semambu, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Pria ini lega lantaran tidak ada gajah Sumatra yang sampai di area kebun tersebut.
Namun, keesokan harinya, Rabu (18/12/2024) sore, ketika Halmi memeriksa kebunnya lagi, sejumlah gajah sudah berada di sana. Hewan mamalia besar itu tampak sedang menyantap tanaman sawit yang baru tumbuh di lahan seluas satu hektare.
“Itu sekitar jam empat sore. Sore itu aku tengok lagi. Pas tengok, ada gajah di situ, lagi makan,” katanya, Kamis (19/12/2024) sore.
Jarak antara Helmi dan kawanan gajah kala itu hanya berkisar 20 meter. Halmi kemudian bergegas keluar dari kebun untuk mengajak warga mengusir sekelompok hewan tersebut.
Dengan membawa alat peledak ringan, Helmi langsung kembali bersama warga. Sesampainya, mereka menyalakan alat peledak rakitan tadi agar kawanan gajah ketakutan dan menjauh.
“Sudah jauh-nyo, tidak ada lagi bunyi-nyo, kami pergi lagi,” ujarnya.
Sudah dua kali tanaman kelapa sawit milik Halmi dimakan gajah dalam tahun 2024. Namun, ia berteguh sehingga akan kembali menanam kelapa sawit.
“Sebelumnyo sudah ado, tetapi tidak dimakan banyak. Tahun ini juga. Harapannya tidak terjadi lagi seperti itu,” katanya.
Konflik manusia dan gajah Sumatra bukanlah hal baru di desa penyangga Tanaman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Tebo, Jambi. Salah satu penyebab interaksi negatif ini ialah maraknya pembukaan perkebunan kelapa sawit.
Tidak hanya warga sekitar, pendatang dari berbagai daerah pun berbondong-bondong membuka perkebunan monokultur itu. Berdasarkan data dari PT Alam Bukit Tigapuluh (perusahaan restorasi ekosistem), lahan dengan total luas 9.000 hektare di kawasan penyangga taman nasional beralih ke perkebunan kelapa sawit dalam lima tahun terakhir.
Masyarakat yang menanam sawit di sana memasang pagar kawat listrik. Padahal, pagar listrik berpotensi membunuh gajah Sumatra sebagaimana yang terjadi pada Umi, gajah betina, pada bulan Mei 2024 lalu.
Interaksi Negatif Gajah dan Manusia Meningkat
Kepala Desa Semambu, Heriantoni, mengatakan dalam tiga tahun terakhir interaksi negatif antara gajah dan manusia meningkat. Beberapa minggu lalu, gajah masuk perkebunan dan permukiman warga. Interaksi negatif ini dikhawatirkan menimbulkan korban jiwa.
“Pada saat gajah masuk, kami bersama masyarakat melakukan pengiringan atau pengusiran agar gajah keluar dari kebun dan permukiman warga,” katanya.
Menurutnya, salah satu penyebab gajah masuk ke permukiman ialah karena deforestasi dan pembukaan lahan di kawasan hutan yang merupakan habitat alami mamalia tersebut. Karena itu, ia berharap perusahaan dan masyarakat berhenti membuka lahan.
“Terutama kepada perusahaan, sudah cukup dengan lahan yang mereka kuasai saat ini. Sedangkan kepada masyarakat termasuk pendatang, kami berharap tidak membuka lahan lagi atau perambahan hutan, apalagi di kawasan hutan. Kami tidak membenarkan membuka lahan di kawasan hutan,” katanya.

Sementara itu, Kasi Wilayah II BKSDA Jambi, Faried, tidak bisa berkomentar banyak terkait alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di desa sekitar TNBT. Namun, ia berharap ke depan warga beralih ke komoditas pertanian yang ramah lingkungan.
“Berharap timbul komoditas unggulan yang memang tidak harus sawit. Secara perlahan,” katanya.
Berbagi Ruang
BKSDA Jambi, ujar Faried, sedang mendorong terbentuknya kawasan preservasi berdasarkan Undang-undang Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ia mengatakan BKSDA Jambi bersama pemerintah daerah sedang menyusun zonasi dan penataan ruang di sekitar TNBT, Tebo.
“Makanya dibuat forum, salah satunya untuk bagaimana membentuk langkah ke depan untuk menyikapi gajah, mencegah konflik. Bagaimana gajah dan manusia bisa berbagi ruang dan tercapai kelestarian gajah dan manusia bisa tetap produktif,” ujarnya.
Ia menyampaikan nantinya akan ada ruang jelajah gajah yang steril dari manusia, ruang abu-abu, dan ruang untuk aktivitas manusia. Zonasi ini menjadi langkah untuk mencegah interaksi negatif antara gajah dan manusia.
“Ini ada pengkajian tata ruang di Tebo, khususnya untuk mengakomodir keberadaan datuk gedang (gajah) ini. Harapannya tata ruang ini bisa menjadi kebijakan berikutnya,” katanya.
Gajah Sumatra yang hidup di TNBT, kata Faried, mencapai berkisar 130 sampai 140 ekor yang terbagi dalam lima kelompok dan beberapa gajah soliter atau gajah jantan yang bergerak sendirian. Sedangkan di Pusat Informasi Konservasi Gajah (PIKG) Tebo, terdapat lima ekor gajah jinak yang dilatih untuk menangani konflik.
Leave feedback about this