Oleh: Riyan Setiawan
- PT Hijau Artha Nusa (HAN) mengalih fungsikan hutan alam di Jambi untuk Hutan Tanaman Energi (HTE).
- Deforestasi berkedok transisi energi telah menggusur ruang spiritual “Penghayat” milik Orang Rimba.
- Setelah mendeforestasi hutan, Orang Rimba dimualafkan oleh PT HAN, tapi tak diberi pengetahuan tentang Islam.
“Piado Rimbo, piado Bungo. Piado Bungo, piado Dewo.”
Tiada bunga, berarti tidak ada rimba atau hutan. Tidak ada hutan, artinya tidak ada Dewa, ujar Tumenggung Karim membuka obrolan dengan Deduktif, Pasir Putih, Kecamatan Rimbo Tengah, Kabupaten Bungo, Jambi, Rabu (9/4/2025).”
Karim merupakan seorang “Temenggung”, sebutan untuk ketua kelompok Suku Anak Dalam (SAD) atau lazim disebut sebagai Orang Rimba.
Sebagai Orang Rimba, Karim bersama keluarganya tinggal di dalam hutan dan bergantung dari alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara berburu dan meramu.
Termasuk membuat rumah dari bahan-bahan yang ada di alam, seperti kayu, kulit kayu, dan dedaunan.
Kalimat yang dilontarkan Karim itu merupakan seloko atau budaya lisan dari Jambi yang berisi petuah, nasihat, dan pesan moral untuk masyarakat.
Petuah itu ia lontarkan karena keluarga besarnya yang berjumlah 10 orang kini harus tergusur ke daerah Pasir Putih dan tinggal di perkebunan sawit milik perusahaan swasta.
Hal tersebut terjadi setelah hutan untuk sumber kehidupan dan aktivitas spiritual mereka dideforestasi oleh PT Hijau Artha Nusa (HAN) untuk Hutan Tanaman Energi (HTE).
HTE adalah hutan yang dikelola untuk menghasilkan biomassa sebagai sumber energi terbarukan, seperti kayu bakar, biofuel, atau energi panas.
Padahal sebelumnya Karim dan kelompoknya sudah tinggal secara damai di dalam hutan di Desa Nalo Gedang, Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin, Jambi. Karim dan kelompoknya terusir sejauh 104 kilometer dari tempat tinggal asalnya.
Desa Nalo Gedang yang memuat 20 Orang Rimba telah menjadi area konsesi PT HAN sejak tahun 2013. PT HAN 🡕 mendapat Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) seluas 32.620 hektare di Kabupaten Merangin dan Sarolangun dari Menteri Kehutanan (Menhut) periode 2019-2014, Zulkifli Hasan.
Perusahaan yang bergerak pada bisnis pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan energi terbarukan dari Korea Selatan itu melakukan deforestasi hutan alam seluas 5.059,52 hektare pada rentang tahun 2017-2023. Area tersebut akan ditanam HTE jenis sengon (Albizia sp.).
Nantinya, tanaman tersebut akan diproduksi menjadi serpihan kayu atau wood pallet yang akan digunakan sebagai bahan bakar campuran batu bara untuk Pembangkit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan skema co-firing.
Alih-alih menanam komoditi sengon seluas 18.087 hektare, perusahaan asal negeri ginseng itu hanya menanam sengon seluas 64,5 hektare saja. Saat ini, area konsesi PT HAN menjadi terbengkalai. Sementara Orang Rimba yang tergusur jadi terpencar dan nasibnya tak tentu arah.
Hutan Jadi Ruang Spiritual
Karim menceritakan jika hutan sudah menjadi tempat tinggal keluarganya secara turun-temurun sejak zaman leluhur. Termasuk hutan di daerah Nalo Tantan. Meski ia tak mengetahui secara persis kapan awal mula mereka tinggal di sana.
Leluhurnya mengajarkan bahwa hutan adalah media spiritual mereka sebagai penghayat kepercayaan. Orang Rimba memandang hutan sebagai tempat yang sakral. Mereka membangun semacam panggung di dekat pohon besar sebagai perantara Dewa, Orang Rimba menyebutnya sebagai “balai”.
Misalnya kayak orang Islam salat di masjid. Kalau enggak ada hutannya, itu Dewanya sudah enggak sama kita lagi
Tumenggung Karim
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi , sebuah lembaga nonprofit yang fokus pada konservasi dan pengelolaan hutan berkelanjutan menambahkan, panggung atau balai yang dibangun berukuran sekitar 10×10 meter dengan jarak dari tanah sekitar 120 centimeter.
Orang Rimba membangun beberapa balai yang mereka susun menghadap sebatang kayu setinggi 2 meter. Ujung kayunya terdapat corong rotan sebagai wadah berbagai macam bunga: bunga padi, bunga antoi, dan bunga gelinggang. Kayu “sanggow” tersebut digunakan sebagai persembahan kepada Dewa.
Ada berbagai Dewa yang mereka percaya:
1. Langit: Dewa tertinggi
2. Burung Gading: Dewa yang bertugas menyucikan atau membersihkan tempat seseorang
3. Gejoh: Dewa yang bertugas mengusir hama pada tanaman
4. Gunung: Dewa yang bertugas membujuk orang jahat menjadi baik
5. Kuwau: Dewa yang bertugas menjaga bunga-bunga agar tetap subur
6. Lout: Dewa yang membawa penyakit batuk dan demam
7. Mergo: Dewa yang menyampaikan pesan dari manusia ke dewa lain
8. Tenggiling: Dewa yang bertugas memberi kekebalan
Ritual persembahan akan dipimpin seorang dukun yang bertugas di dalam balai. Dukun tingkat tertinggi disebut sebagai dukun godong. Pada ritual tersebut, sang dukun melakukan bede dekiron atau melantunkan mantra-mantra. Dalam ritualnya, sang dukun menunjukan keahlian supranaturalnya, seperti memunculkan buah durian, meskipun saat itu sedang tidak musim durian.
Itu (keahlian supranaturalnya) menunjukkan bahwa dia sudah sampai ke alam Dewa atau ke Tuhan
Manajer Program Konservasi dan Suku Adat Marginal KKI Warsi, Robert Aritonang, saat ditemui Deduktif di Kantor KKI Warsi, Jambi, Sabtu (14/4/2025).
Robert menyebut ritual tersebut bisa berlangsung selama berhari-hari. Terdapat pertunjukan mencak atau pencak silat dengan gaya menari: mencak mergo dan mencak simpoy.
Ritual ini tak boleh dilihat oleh orang lain di luar suku rimba, sehingga mereka membangun balai di tengah hutan agar tak ada orang asing yang melintas. Selain ritual kepercayaan tadi, Orang Rimba juga melakukan ritual pernikahan. Prosesnya dimulai dengan pendekatan panjang yang disebut bekintangon atau pengabdian, diikuti dengan berbagai upacara seperti berbalai atau upacara dengan bunga-bunga yang berasal dari hutan.

Karim melanjutkan, selain ritual persembahan, Orang Rimba juga memiliki tradisi menguburkan ari-ari anak mereka di bawah pohon setubung. Mereka menjadikan batang pohon tersebut sebagai tanda atau “akta lahir”. Batang kayu setubung dijadikan simbol hubungan spiritual antara bayi dengan pohonnya.
Orang Rimba menganggap pohon setubung sebagai bagian dari diri mereka, pantang untuk menebang. Penebangan pada pohon setubung artinya membunuh manusia yang ari-arinya terkubur di pohon. Namun miris, setelah terjadi penebangan hutan yang massif, pohon setubung kini sangat sulit dicari. Orang Rimba akhirnya menggunakan kayu sungkai sebagai pengganti.
Ibaratnya tuh kalau ada kayu (setubung) itu, kapan pun kita tinggalkan, akan tetap ingat. Kalau sekarang sudah tidak ada (akibat ditebang), kita jadi lupa
Karim
Sejatinya Orang Rimba punya hukum adat bagi kelompok yang merusak kayu setubung. Pelaku dianggap telah membunuh Orang Rimba dan harus membayar denda sebanyak 500 lembar kain atau sekitar Rp25 juta jika harga perkain sebesar Rp50.000.
Itu tanda kehidupan mereka. Kalau perusahaan (PT HAN) kan asal gusur (deforestasi) saja. Yang ditebang banyak pohon, berapa banyak denda yang harus dibayar?
Robert
Setelah penguburan ari-ari, prosesi berlanjut, kepala bayi diusap dengan kulit kayu tenggeris yang sudah dikikis. Pohon tenggiris disebut sebagai batang terkeras di hutan. Metaforanya, supaya si anak tumbuh sekuat kayu.
Orang Rimba juga masih menyemayamkan jenazah keluarga di hutan, meski meninggal di rumah sakit sekalipun. Tempat pemakamannya disebut sebagai tanah pasaron, yaitu hutan lebat yang sulit dijangkau dan terlindung dari akses orang luar.
Jika yang meninggal orang dewasa, pemakamannya dilakukan dengan membuat sebuah pondok beratap setinggi satu meter dari permukaan tanah. Lantainya terbuat dari kayu-kayu kecil yang disusun berjajar.
Jenazah akan ditempatkan di atas lantai kayu dan ditutupi kain, ditinggalkan beserta seluruh barang semasa hidup, seperti peralatan berburu, memasak, atau pakaian. Sementara jika yang meninggal bayi, maka persemayamannya dilakukan dengan cara membungkus jenazah dengan kain panjang dan menggantungnya di ranting pohon.
“Jadi semua ritual mereka berkaitan dengan hutan. Kalau tidak ada hutan, ya tidak ada Dewa mereka,” kata Robert
Robert menuturkan seluruh peristiwa yang menghilangkan hutan Orang Rimba bisa disebut rubuhnya halom, alias hancurnya rimba. Peristiwa ini merupakan ketakutan terbesar bagi Orang Rimba karena menghilangkan akar budaya dan eksistensi mereka.
Robert, sebagai akademisi antropologi telah melakukan riset tentang Orang Rimba selama 28 tahun. Ia mendengarkan suara-suara ritual mereka dari jarak sekitar 1 kilometer. Robert juga mengamati sisa-sisa ritual Orang Rimba, termasuk mengumpulkan cerita-cerita ritual Orang Rimba.
Musnahnya ruang spiritual Orang Rimba ditanggapi serius oleh Green Faith Indonesia, sebuah gerakan akar rumput lintas agama yang berfokus pada keadilan iklim dan energi bersih. Mereka menyayangkan tindakan yang dilakukan PT HAN terhadap hutan Orang Rimba.
Green Faith Indonesia menyebut deforestasi untuk transisi energi yang menggeser ruang hidup Orang Rimba tidak sesuai dengan fikih transisi energi yang memiliki nilai-nilai Islam, berkeadilan, akuntabel, transparan, partisipatif, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan transformatif.
Karena hutan itu jembatan mereka terhubung dengan Dewanya. Kalau dirusak, mereka tidak bisa ritual. Contohnya, Islam butuh masjid untuk menuju Tuhannya. Hening Parlan, Koordinator Nasional Green Faith Indonesia, kepada Deduktif, Jumat (9/5/2025).
Diajak Masuk Islam, Lalu Ditinggalkan
Setelah hutan untuk mencari makan dan menjalankan kegiatan spiritual mereka ditebang, PT HAN mengajak Orang Rimba untuk masuk Islam. PT HAN bersama Kepala Desa Nalo Gedang, Kecamatan Nalo Tantan, Zuhari dan Yayasan Mualaf Center Indonesia (MCI) Regional Jambi memfasilitasi sembilan Orang Rimba kelompok Tumenggung Karim untuk menjadi mualaf pada 7 Juli 2020 lalu.
Proses mualaf tersebut dipandu Ketua MUI Merangin, Joni Musa dan Bupati Merangin periode 2018-2021, Al Haris. Saat ini Haris telah menjadi Gubernur Jambi periode 2025-2030.
Pada saat mengislamkan Karim dan kelompoknya, Haris berjanji membimbing dan mendidik Suku Anak Dalam belajar agama Islam. Termasuk memberikan fasilitas mengaji dan belajar agama, meminta petugas kesehatan menyunat mereka, dan memberi nama Islam.
Karim mengaku tidak dipaksa saat ia bersama keluarga menjadi mualaf. Mereka pun merasa senang ketika diajarkan pengetahuan tentang Islam. Namun sayang baru berjalan beberapa bulan, mereka dilepas oleh perusahaan dan pemerintah. Tak sesuai dengan janji manis semula.
Alhasil, Suku Anak Dalam yang telah bermualaf mengalami kebingungan: tetap seorang muslim atau kembali menjadi penghayat. Masalah makin rumit ketika makanan buruan mereka seperti babi, ular, dan sejenisnya dilarang Islam.
Kami belum tahu tapi sudah berhenti diajarkan. Mau (tetap) Islam, enggak ngerti. Mau balik ke kepercayaan sebelumnya tidak bisa karena rimbo (hutan) sudah habis. Karim
Setelah masuk Islam, Karim dan keluarganya yang sudah berusia 17 tahun juga dibuatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tapi ia mengaku tak mendapat manfaat dari pembuatan KTP selain “dimanfaatkan” oleh kandidat anggota legislatif dari daerah pemilihan (Dapil) Merangin saat ajang pemilu 2024 kemarin.
“Saya nggak tahu jadi apa (caleg yang dipilih). Setelah didukung, sudah tidak ada kabarnya,” ujar Karim
Manajer Program Konservasi dan Suku Adat Marginal KKI Warsi, Robert Aritonang menuturkan, ada yang salah dari ajakan mualaf kepada Orang Rimba. Sebab sejatinya kepercayaan Penghayat milik Orang Rimba sudah diakui oleh negara dan dilindungi konstitusi. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pun telah membolehkan kolom agama diisi kepercayaan Penghayat.
Mereka juga tidak terlalu menghayati dan bertanggung jawab terhadap agama barunya. Karena tidak dirasakan
Robert
Setelah Tumenggung Karim bersama kelompoknya menjadi mualaf, MCI Region Jambi pernah mengunjungi mereka di Desa Nalo Gedang. Bukhori TV 🡕 mengabadikan momen ketika Ketua Umum MCI Region Jambi, Amran Nasution berjanji membimbing kerohanian mereka.
Namun, katanya, terdapat sejumlah kendala saat melakukan bimbingan ke lokasi, seperti jarak tempuh yang jauh, serta akses jalan yang rusak dan dipenuhi lumpur. Dalam video yang mereka unggah, terlihat mobil mereka berkali-kali jeblos dan harus didorong empat orang untuk menuju ke lokasi Orang Rimba di Desa Nalo Gedang. Saat itu desa tersebut sudah menampung 35 Suku Anak Dalam yang mualaf.
“Saya berharap kita ada gerakan otentik dan jelas, dalam setahun bisa membina rohani dan kehidupan mereka yang baik,” kata Amran, pada video yang diunggah pada 18 Juli 2021.
Pengislaman Hanyalah Dalih Merebut Hutan
Manajer Administrasi dan Marketing PT HAN, Muchlisin Madras mengklaim pihaknya memang memfasilitasi proses kelompok Tumenggung Karim masuk Islam. PT HAN berperan mengantar jemput kelompok Tumenggung Karim menggunakan kendaraan double gardan, mengingat medan yang ditempuh sangat sulit.
Para Orang Rimba dijemput oleh pihak PT HAN ke kediaman Kepala Desa Nalo Gedang, Zuhari yang menjadi lokasi pengislaman sembilan Suku Anak Dalam. Mereka juga membelikan perlengkapan sembilan Orang Rimba untuk beribadah dan mengaji.
Selain itu, PT HAN bersama MCI Jambi bekerja sama membangun musala dan madrasah pada tahun 2021 sebagai sarana Orang Rimba belajar agama Islam. Sarana keagamaan tersebut diberi nama Musholla Nurul Islam dan Madrasah Anak Rimba 🡕 yang berlokasi di Desa Nalo Gedang. Pada pelang tempat ibadah dan sarana belajar agama Islam tersebut, terdapat logo PT HAN dan juga MCI Regional Jambi.
Berdasarkan keterangan MCI Region Jambi pada Januari 2021, jumlah Suku Anak Dalam yang telah menjadi mualaf di Desa Nalo Gedang sebanyak tiga Kepala Keluarga (KK) dengan total sekitar 30 orang. Kala itu, MCI Regional Jambi memberikan bimbingan keagamaan secara intensif.
Namun, berdasarkan dokumentasi Forest Watch Indonesia (FWI) saat melakukan penelusuran ke konsesi PT HAN yang ada di Desa Nalo Gedang, kondisi musala tersebut sudah terbengkalai. Pelang musala terlihat kumuh dan ditutup dedaunan. Kubah musala yang berwarna perak ambruk ke dalam bangunan musala yang terbuat dari kayu.
Muchlis mengakui pihaknya sudah tidak lagi membantu aktivitas keagamaan Orang Rimba. Hal tersebut lantaran PT HAN telah berhenti beroperasi sejak tahun 2021 atau beberapa waktu setelah Suku Anak Dalam masuk Islam.
Jadi aktivitas perusahaan maupun pembinaan kepada mereka (Orang Rimba) terhenti. Setelah itu belakangan Mualaf Center juga tidak kelihatan lagi (kasih bimbingan keagamaan).Muchlis saat ditemui, Deduktif, Rabu (23/5/2025).
Ia menjelaskan kegiatan perusahaan berhenti karena investornya, yakni PT Woorim Energy 🡕 menyetop investasinya ke PT HAN. Berdasarkan dokumen akta perusahaan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) yang diakses 5 Agustus 2024, PT HAN dipimpin oleh Han Man Seong dan Mohamad Sukri yang menjabat sebagai Komisaris.
Pemegang saham mayoritas PT HAN adalah Woorim Energy Co., Ltd. yang berkedudukan di Bangi-dong, Songpa, Seoul, Korea Selatan. Woorim Energy menguasai 142.000 lembar saham setara Rp14,2 miliar.
Sementara itu, Mantan Kepala Desa Nalo Gedang, Zuhari membenarkan jika Tumenggung Karim dan keluarga bersyahadat di rumahnya. Total ada sebanyak 23 Orang Rimba yang ia “bantu” menjadi mualaf bersama. PT HAN yang memberi bantuan berupa buku Iqra untuk belajar agama dan mengaji.
Kalau untuk bantuan honor guru ngaji itu enggak ada (dari PT HAN)
Zuhadi, kepada Deduktif, Kamis (17/5/2025)
Ketika menjabat sebagai kepala desa, ia mengaku membantu mengajarkan Islam kepada Orang Rimba. Namun, setelah masa tugasnya berakhir, dirinya sudah tidak terlalu terlibat dalam program keagamaan Orang Rimba di Desa Nalo Gedang.
Ketua MUI Merangin, Joni Musa membenarkan jika saat itu ia terlibat mengislamkan Tumenggung Karim bersama kelompoknya. Dia mengakui kurang memberikan bimbingan kepada Suku Anak Dalam setelah mereka mualaf. Padahal dirinya terpilih lagi sebagai Ketua MUI Merangin pada 7 Mei 2025 lalu. Ketika dihubungi Deduktif, Rabu (7/5/2025), ia hanya memberi janji (lagi) agar Orang Rimba dapat mempelajari Islam, alih-alih mengembalikan hutan dan kepercayaan Penghayat milik mereka.
Bekerjasama dengan PT HAN, pemerintah atau pihak lain. Jadi diharapkan nantinya yang sudah mualaf dapat perhatian, khususnya dalam mempelajari Islam yang baik dan benar.
*Hasil liputan ini terbit pertama kali di Deduktif.id pada 23 Mei 2025 dengan judul “Kami Diajak Mualaf, Lalu Ditinggal“
Leave feedback about this