Oleh: Dwi Rahariyoso
Azan magrib selesai berkumandang. Petang itu 30 April 2025, Lenara Kafe sudah ramai pengunjung. Padi sudah ditabur di tengah halaman, membentuk lingkaran dengan diameter kisaran satu depa. Galuh bersiap mengenakan sarung dan bertelanjang dada. Satu buah sprai sudah disiapkan sebagai properti.
Pertunjukan dimulai. Sirine dikumandangkan berulang-ulang. Sirine peringatan tanda bahaya(peringatan darurat). Galuh mulai masuk ke gelanggang.Tubuhnya dibungkus sprai yang sudah dijahit menyerupai karung goni. Ia bergerak lambat dan bergetar. Sosoknya terseok-seok mengitari lingkaran padi. Performance art terasa mencekam, emosional, dan menegangkan. Seluruh sendi bergerak dengan ngilu dalam suasana “darurat”.
Suatu kondisi tragik yang berulang-ulang. Kesakitan yang tidak bisa dilepaskan, kepasrahan yang bertubi-tubi dirayakan dalam ketidakberdayaan. Perjuangan buruh tani yang terabaikan dalam kebijakan dan perhatian negara menjadi isu yang diusung Galuh dalam performance art-nya tersebut. Dalam kasus Indonesia, Asta Cita Swasembada Pangan adalah salah satu dari delapan cita-cita atau tujuan utama yang ditetapkan oleh Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam menjalankan tugas kepemimpinan mereka.
Cita-cita ini terkait dengan usaha mewujudkan kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, yaitu kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya secara mandiri. Kendati demikian, status buruh tani dalam serangkaian kebijakan program dan di Era Revolusi Industri 5.0 masih berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Keadaan buruh tani di Indonesia secara umum masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari upah yang rendah, kondisi kerja yang tidak aman, dan akses terbatas terhadap jaminan sosial. Banyak buruh tani yang hidup dalam kemiskinan dan sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Soal status dan nasib buruh tani, mereka terlupakan bahkan hingga saat ini belum tercatat sebagai buruh dalam nomenklatur peraturan ketenagakerjaan. Status buruh tani merupakan status paling rendah dalam istilah dunia pertanian. Para buruh tani adalah bukan pemilik lahan (petani kaya). Mereka bukan juga sebagai petani karena hanya bekerja atau melakukan pekerjaan buruh di lahan yang bukan miliknya.
Dari berbagai kegiatan dan seremoni, selayaknya peringatan Hari Buruh sebagai momentum untuk mengubah nasib para buruh. Selama ini nasib baik kaum buruh di dunia sama sekali belum berpihak, termasuk buruh-buruh di Indonesia.
Keadaan inilah yang disimulasikan Galuh dalam “Cerita yang diceritakan Kembali”. Dalam performancenya, nampak bahwa ingatan tentang status dan ketidakberdayaan buruh tani ditransmisikan berulang-ulang. Sebagai suatu repetitif. Upaya membangun kesadaran dan perlawanan melalui ingatan.
Mengingat adalah bekal ke masa depan. Sebuah upaya resistensi terhadap kekalahan yang niscaya. Properti selimut yang dijahit menyerupai karung adalah metafora terhadap “sakit” yang tak kunjung sembuh. Sebuah kesakitan endemik dan laten bagi seluruh buruh tani yang habis dikuliti keadaan. Tubuh yang terbungkus dan tidak lepas dari selimut menginspirasi kita betapa siklus hidup kaum buruh adalah siklus yang kekal, dari sakit ke sembuh – kembali ke sakit – kembali lagi ke sembuh yang demikian stagnan dan absurd. Ia teralienasi –dari tubuhnya, sekaligus terperangkap secara simultan.
Tubuhnya adalah medium meredam seluruh jerih payah sekaligus upaya resistensi terhadap kondisi yang tidak pernah berubah. Padi menjelma metonimi dalam narasi performance art Galuh. Ia adalah bahan pangan, namun buruh tani tak mampu mengolah sehingga memakannya mentah-mentah. Sebagai metonimi, padi dekat dengan rasa lapar sekaligus perih karena kulitnya menyayat lidah dan mulut. Simalakama kiranya, ketika seorang buruh tani diasingkan dari pangan, kelaparan oleh keadaan. Swasembada pangan adalah kata kunci, ketahanan pangan tidak disajikan di meja makan para buruh tani.
Momen peringatan Hari Bumi diinisiasi dalam perhelatan Gejala Kawula Muda di Lenara Kafe yang dimulai dari tanggal 22 April hingga tanggal 2 Mei 2025, sekaligus beririsan dengan Mayday. Suatu kegiatan estafet yang lumayan panjang untuk ukuran Kota Jambi, dan bahkan Provinsi Jambi yang diinisiasi secara partisipatif dan swadaya. Salah satu sesinya adalah “Ragam Beseni”.
Kegiatan ini menunjukkan ekspresi kegelisahan rekan-rekan generasi muda Jambi dalam merespon ruang-ruang publik yang lebih inklusif sekaligus cair dengan melibatkan berbagai komunitas dari berbagai latar belakang. Kolaborasi secara partisipatif tentu menjadi salah satu kunci utama dalam membangun suatu “konsorsium” seni budaya dan aktivisme sosial sebagai perwujudan kesadaran kolektif dalam ruangruang publik yang lebih humanis. Terus bergerak, Gejala Kawula Muda!
*Selain sebagai pengajar di Universitas Jambi, Dwi Rahariyoso saat ini aktif bergabung di komunitas Makaradwipa

Leave feedback about this