Nurhasanah menyalakan tungku kecil yang terbuat dari besi. Ia kemudian menuangkan malam atau lilin ke atas alat pemanas tersebut. Setelah malam cukup cair dan panas, canting dicelupkannya lalu Nurhasanah mulai nemboki kain putih mengikuti pola yang sudah disiapkan. Pola itu merupakan gambar tumbuhan di sekitar tempat tinggal Nurhasanah.
Nurhasanah menyanting tanpa alas. Kain putih langsung berkontak dengan telapak tangannya sehingga perempuan ini menorehkan cairan malam pada ‘kanvas’ sembari menahan panas. Tetapi, ia tampak sudah terbiasa. Jari jemarinya pun lihai bergerak mengikuti pola tumbuhan.
“Jadi, ditulis dahulu, baru di-lilin. Harus teliti dalam mencanting agar rapi. Nanti ditambah motifnya, seperti mangrove pidada, udang, bintang laut,” kata perempuan itu.
Beselang.id adalah media independen nirlaba yang dikelola secara kolektif. Dukung dengan berdonasi agar kami terus bekerja demi kepentingan publik. Donasi melalui bit.ly/donasibeselang
Tidak hanya membuat batik tulis, Nurhasanah juga lihai membuat batik dengan teknik cetak atau cap. Ia biasa memproduksi batik cap di halaman samping sanggarnya yang berada di Dusun Bahagia, Desa Tungkal I, Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.
Nurhasanah mengelola sanggar itu sebagai Ketua Kelompok Batik Mangrove Pangkal Babu, bersama delapan perempuan yang menjadi anggotanya. Kolaborasi para perempuan ini telah menciptakan sekitar 16 motif yang terinspirasi dari lingkungan Mangrove Pangkal Babu, Desa Tungkal I, yaitu motif berupa kepiting bakau, mangrove pidada, mangrove api-api, burung bangau, pohon kelapa, dan sebagainya.
Dengan demikian, mereka turut melestarikan hutan bakau melalui kain batik. Hal ini diperkuat dengan kesadaran ekologis yang tertanam di benak para perempuan di desa itu. Melalui batik, mereka menyampaikan pesan konservasi wilayah pesisir.
“Kami juga ingin mengenalkan bahwa ada mangrove di sini. Kami mencetak batik ini terinspirasi dari lingkungan yang dilihat setiap hari. Kami lindungi lingkungan di sini, baik mangrove maupun yang lain,” kata Nurhasanah.
Menurutnya, lingkungan mangrove istimewa untuk dituangkan pada kain batik. Apalagi awalnya belum ada perajin yang konsen membuat kain batik dengan motif seperti itu.
“Daerah tepian ini istimewa. Sebelumnya tidak ada yang mengembangkan motif pohon ini. Makanya, kami kembangkan apa yang ada di sekitar kami ini,” ujarnya.
Nurhasanah membangun kelompok batik ini pada tahun 2021 lalu. Sebelumnya, ia sudah memproduksi batik saat masih tinggal di Kota Tungkal. Namun, ia harus pindah ke Desa Tungkal I karena mengikuti suaminya.
Setelah beberapa lama menetap di desa itu, ia mengajak delapan perempuan untuk membentuk kelompok batik. Ia melihat sekitar lingkungannya sampai terinspirasi membuat batik dengan motif khas mangrove.
“Saya belajar di Tanjab Timur dari kakak. Ilmunya sudah ada, sehingga tinggal menarik masyarakat lagi untuk membatik. Kami sumbangan Rp 100 ribu satu orang, itu untuk beli bahan, pewarna, dan sebagainya,” katanya.
Mereka yang tinggal jauh dari kota, tentu kesulitan untuk mendapatkan bahan dan peralatan untuk membatik. Namun, mereka tidak menyerah hingga bisa membeli kain, pewarna, dan perlengkapan membatik lainnya di Jambi Kota Seberang, Kota Jambi.
Mereka juga sempat dibantu Go Green dari Universitas Jambi, lalu dilanjutkan dengan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. “Karena kita tidak tahu langkah selanjutnya sehingga didampingi. Pembuatan SK di desa, didampingi dengan KKI Warsi,” kata Nurhasanah.

Para perempuan ini masih membatik dengan menggunakan alat sederhana, yakni cetakan berbahan karton dan papan. Kertas tebal ini dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan motif yang dirancang oleh mereka. Ala kadar ini tidak memadamkan semangat para perempuan itu untuk terus berkreasi dan memproduksi batik khas mangrove.
Dalam sehari, mereka bisa menghasilkan 5 kain batik. Kadang kala mereka menerima pesanan dengan jumlah besar, misalnya sebanyak 85 kain yang dipesan pihak sekolah pada April 2023 lalu.
Harga kain batik cap dari Kelompok Batik Mangrove Pangkal Babu, dimulai dari Rp 135.000 hingga Rp 200.000. Sedangkan kain yang diproduksi dengan cara ditulis, harganya dimulai dari Rp 300.000 bergantung dengan kerumitan dan kepadatan motif.
Walau penjualan masih pasang surut alias belum stabil, karya mereka sudah sampai ke tingkat provinsi hingga kancah nasional. Batik yang dibuat Kelompok Mangrove Pangkal Babu juga sempat digunakan dalam ajang fashion show pada September 2024 lalu.
Kelompok perempuan ini sebenarnya masih kurang mendapatkan perhatian, baik berupa modal dan pelatihan dari dinas terkait. Ironisnya, di sana masih blank spot atau susah sinyal sehingga mereka kesulitan untuk mempromosikan kain batik.
Meski di tengah keterbatasan, hingga saat ini, mereka terus giat menuangkan keasrian mangrove pada kain batik.
“Alhamdulillah di sini ibu-ibunya sangat bersemangat dengan kegiatan ini, walaupun menggunakan alat batik apa adanya,” kata Nurhasanah.
Berkat kegiatan membatik dengan motif khas mangrove, para perempuan itu memiliki penghasilan tambahan untuk rumah tangga. Efek baik hati pada mangrove ini disampaikan oleh Sri Wahyunika.
Sebelum menjadi perajin batik, Sri mengalami kesulitan mencari penghasilan. Ia hanya bergantung sebagai buruh di kebun kelapa, dan diupah Rp 100 dari setiap butir kelapa yang dipetiknya.
Namun, kondisi itu berubah setelah ia bergabung dalam Kelompok Batik Mangrove Pangkal Babu. Ia juga senang bisa membuat karya seni berdasarkan lingkungan di sekitarnya. “Saya merasa lebih produktif untuk bisa membantu keluarga,” ujar Sri.
Kolaborasi Hijaukan Lingkungan Mengrove hingga Menjadi Ekowisata
Beragam hayati di Mangrove Pangkal Babu, yang menjadi inspirasi Nurhasanah dan kawannya, dapat langsung disaksikan di sana sebagai ekowisata. Kepiting bakau, aneka pohon mangrove, hingga burung bangau, dapat dijumpai para pengunjung.
Hutan Mangrove Pangkal Babu memiliki luas mencapai 121 hektare, yang terbagi dalam tiga area, yakni 24 hektare zona ekowisata, 40 hektare zona pemanfaatan, dan 58 hektare menjadi area pelindungan.
Beragam pohon mangrove tumbuh di mana-mana. Bersamaan dengan siput, ikan, dan flora lainnya yang ikut berlimpah.
Kondisi ini sangat berbeda dengan 20 tahun silam. Kala itu, hutan bakau dibabat masyarakat demi membangun kampung dan perkebunan. Pembukaan tambak udang yang dilakukan pemilik modal turut merusak ekosistem mangrove.
Imbasnya, barisan pohon bakau yang tersisa tidak bisa menjadi benteng penahan ombak. Permukiman berhadapan langsung dengan perairan. Gulungan ombak ‘menerjang’ rumah dan lahan perkebunan yang membuat masyarakat nyaris putus asa.
Ahmadi (almarhum), yang baru tinggal di sana pada tahun 2000, mengakui turut menebang pohon. Namun, lamban laun ia menyadari bahwa kegiatan ini memicu fenomena yang membahayakan lingkungan dan mengakibatkan banjir rob.
“Saya sadar bahwa saya menebang ini untuk kepentingan saya, dan akhirnya merusak. Di situlah timbul kesadaran bahwa mangrove ini perlu dipadatkan. Pohonnya masih banyak, tetapi perlu dipadatkan. Di samping itu, siput-siput memanjat pohon kalau air lagi pasang,” katanya, April 2023 lalu.
Ia kemudian mengajak masyarakat untuk menghentikan penebangan, serta membuat gerakan menanam pohon mangrove. Awalnya, pembibitan mangrove sempat mengalami kegagalan. Ahmadi kemudian mencari tahu penyebab dan cara mengatasinya. Ternyata, bibit tanaman ini perlu direndam semalaman sebelum ditanam supaya hama yang menempel mati. Berdasarkan pengalamannya pula, ia mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menanam mangrove.
“Penanaman harus dilakukan di awal tahun, bukan di akhir tahun yang mana air biasanya pasang. Sebelumnya ada yang menanam di akhir tahun, gagal karena terbawa arus,” ujarnya.
Lebih jauh, pada tahun 2004, ia membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Bakau Lestari. Kelompok ini membangun penangkaran bibit mangrove.
Sejauh ini, ada lebih dari lima ratus ribu bibit yang berhasil dibudidayakan oleh KTH Bakau Lestari. Ratusan ribu bibit itu sudah ditanam di wilayah pesisir Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan, oleh berbagai pihak. KTH Bakau Lestari juga menjadi penangkaran tanaman mangrove yang sudah bersetifikat.

Berkat gerakan penanaman dan pelindungan, Hutan Mangrove Pangkal Babu kembali rimbun. Permukiman di sana dilindungi barisan pohon bakau dari derasnya ombak dan abrasi.
Berbagai macam burung lalu lalang dan bertengger di sana. Karena berlimpah, siput dan kepiting bakau menjadi komoditas bagi masyarakat di Desa Tungkal I. Masyarakat pun tidak perlu melaut dengan jarak yang jauh dari kawasan mangrove untuk mendapatkan ikan.
Tidak hanya melakukan pemulihan dan pelindungan, masyarakat juga mendorong pemerintah desa agar regulasi untuk melindungi kawasan mangrove ini dirumuskan. Beberapa kali masyarakat menyampaikan aspirasi ini kepada pemerintah, hingga akhirnya terbit Peraturan Desa (Perdes) Nomor 3/2021 tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Mangrove.
Setelah bertahun-tahun melakukan pemulihan, masyarakat memetik cuan dengan mengelola sebagian area mangrove sebagai ekowisata. Karena itu, keasrian Hutan Mangrove Pangkal Babu dapat ditelusuri dengan akses jembatan kayu. Terdapat pula sejumlah gazebo yang bisa menjadi tempat pengunjung beristirahat dan berswafoto. Tak jarang sejumlah pengunjung berinteraksi dengan hewan primata yang melewati jembatan itu.
“Ekowisata ini dikelola oleh para pemuda yang tergabung Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Mangrove Pangkal Babu bersama Pemuda Pasir. Sebagian anggota Pemuda Pesisir, ada juga yang tergabung dalam Pokdarwis. Ini terdaftar dalam SK pengelolaan mangrove yang ditandatangani pemerintah desa,” kata Syafriyan Hatta, Ketua Pokdarwis Mangrove Pangkal Babu.
Tiket masuk Ekowisata Mangrove Pangkal Babu, yakni senilai Rp 5000. Dalam sehari, jumlah pengunjung di sana bisa mencapai 300 orang. Penghasilan per bulan dari ekowisata ini rata-rata di atas Rp 45 juta.
Penghasilan itu belum termasuk dari penangkaran KTH Pangkal Babu. Sebesar 80 persen pendapatan dari penjualan tiket ekowisata, dialokasikan pada kegiatan konservasi hutan, biaya menjaga kebersihan dan perawatan, serta keamanan parkir. Sisanya, masuk ke kas daerah.
Konservasi Mangrove Dilanjutkan Generasi Muda
Pada bulan Oktober 2024 lalu, Ahmadi tutup usia. Ia meninggal dunia di usia 87 tahun.
Sebelum meninggal dunia, pada April 2023 lalu di kediamannya, ia sempat menitipkan pesan kepada generasi muda. Ia berharap generasi muda menjaga hutan bakau dan giat untuk terus melakukan penanaman
“Kalau saya sudah tidak ada, hutan ini jangan dibiarkan. Kalau perlu dipadati lagi hutannya. Kalau padat hutannya, banyak sekali manfaatnya,” ujarnya.
Sesuai pesan itu, konservasi Mangrove Pangkal Babu terus berjalan. Pemuda Pasir yang anggotanya sekitar 35 orang, terus melakukan pelindungan. Mereka melarang aktivitas yang merusak ekosistem mangrove, misalnya penebangan dan penangkapan ikan dengan menggunakan racun. Mereka juga melakukan penanaman pohon di lahan seluas 12 hektare.
“Tak boleh ditebang sampai batas tanggul dan harus ada hutan yang jadi dasar. Ketinggian pasang air bisa mencapai 70 sentimeter ke atas,” kata Hatta.
Penanaman tidak hanya dilakukan oleh orang lokal. Sekelompok generasi muda di Kota Tungkal, yang tergabung dalam Relawan Mangrove, turut menanam pohon di sana.
Relawan Mangrove dibentuk pada tahun 2019 oleh Muhammad Windi (30). Alumni Universitas Jambi itu, mengatakan komunitas Relawan Mangrove terbentuk karena dirinya resah melihat abrasi yang terjadi di Tanjung Jabung Barat, Jambi.
Komunitas relawan ini tidak bergantung dengan donasi dari pihak luar. Anggotanya mencapai 30 orang yang sebagiannya juga tergabung dalam komunitas pengendara motor, Mapala Pamsaka, dan berbagai komunitas lainnya.
“Relawan Mangrove timbul dan bergerak tanpa harus bergerak melalui jendela pemerintah dan tanpa harus ada donatur,” katanya beberapa waktu lalu.
Stakeholder Engagement Specialist KKI Warsi, Agus Sumarli, mengatakan pemulihan dan pelestarian mangrove harus menjadikan masyarakat sebagai aktor utama sebagaimana yang berlangsung di Mangrove Pangkal Babu. Pemulihan Hutan Mangrove Pangkal Babu telah menjadi cerita sukses yang bisa dicontohkan oleh masyarakat di daerah lain.
“Jadi, para pemuda yang mempunyai jiwa konservasi, menyelamatkan Mangrove mereka yang sebelumnya sudah habis. Kemudian kita damping itu. Wilayah Mangrove yang sudah menjadi APL itu dibuatkan peraturan desa (Perdes). Dengan adanya perdes, itu bisa mencakup kegiatan pelestarian dan pariwisata di sana. Sampai sekarang terus berkembang,” katanya.
Menjaga Mangrove Turut Menahan Laju Krisis Iklim
Jurnal berjudul “Studi Kerapatan Mangrove dan Perubahan Garis Pantai Tahun 1989-2018 di Pesisir Provinsi Jambi”, yang ditulis para akademisi dari Universitas Jambi, mengungkapkan pada tahun 1989 kerapatan mangrove di Jambi dengan kategori sangat tinggi luasnya mencapai 7.151,31 hektare, mangrove dengan kerapatan sedang 308,95 hektare, dan magrove dengan kerapatan rendah 300,13 hektare.
Namun, karena deforestasi dan pembukaan perkebunan kelapa sawit yang terjadi sejak tahun 2000, ekosistem mengrove menyusut signifikan. Hampir dua dekade kemudian, tutupan mangrove tersisa 2.076,44 hektare. Daerah yang kehilangan ekosistem mangrove tertinggi adalah Kecamatan Sadu dan Sabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Penelitian yang dilakukan BRIN mengungkapkan bahwa barisan mangrove mampu mencegah abrasi dari gelombang laut termasuk tsunami. Tidak hanya itu, barisan pohon ini juga dapat menyerap karbon sebanyak lima sampai tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan pepohonan yang berada di hutan darat atau terrestrial.
Karbon yang disimpan hutan ini bisa mencapai sekitar 1.023-1.083 metrik ton per satu hektare. Artinya, mangrove dapat menyerap ekuivalen karbon dioksida (CO2e) sampai 3.754-3.975 metrik ton setiap hektarnya.
Dengan demikian, Mangrove Pangkal Babu sangat penting bagi masyarakat untuk menghadapi krisis iklim, tidak hanya untuk menahan ombak dan mencegah abrasi.
Belajar dari pengalaman buruk, masyarakat sekitar Hutan Mangrove Pangkal Babu, yakni para perempuan dan pemuda di sana, telah memiliki kesadaran kuat untuk menjaga hutan bakau. Mereka getol menanam pohon dan melakukan pelindungan. Disadari atau tidak, kolaborasi antar masyarakat ini turut andil dalam menahan laju perubahan iklim.
Leave feedback about this