Beselang.id adalah media independen nirlaba yang dikelola secara kolektif. Dukung dengan berdonasi agar kami terus bekerja demi kepentingan publik. Donasi di bit.ly/donasibeselang
- Beselang bersama tim Kemitraan dan dua lembaga mitranya di Jambi, Pundi Sumatera, KKI Warsi, mengunjungi langsung komunitas SAD atau Orang Rimba di tiga kabupaten–Sarolangun, Merangin, dan Bungo.
- Perjalanan hampir satu pekan itu, dimulai dari Pelakar Jaya sampai ke Pelepat.
- Kami melihat langsung dan merasakan kehidupan Orang Rimba, baik yang sudah direlokasi maupun yang masih bertahan di sudung, termasuk memotret tantangan mereka dalam mengakses layanan dasar dan akses ekonomi.
Hutan bagi Orang Rimba melambangkan jati diri. Dulu di dalam hutan memberikan segala-galanya laiknya supermarket. Semua yang dibutuhkan Orang Rimba tersedia. Ada; protein, karbohidrat. Sampai peluang ekonomi pun juga tersedia di rimba belantara.
Tapi kini bagi sebagian besar Orang Rimba yang hidupnya tersebar di sejumlah daerah di Provinsi Jambi, merasa kehilangan identitasnya sebagai Orang Rimba. Hutan telah hilang berganti tanaman monokultur akasia dan kelapa sawit.
Dalam kosmologi Orang Rimba, hutan memiliki multifungsi dalam menunjang segala kehidupannya. Orang Rimba memiliki ruang-ruang ritus tradisional di dalam hutan antara lain pasoron, tanah bedewo, paranokan. Keberadaan hutan juga menjadi medium untuk menghubungkan kepercayaan mereka kepada dewa-dewa.
Baca selengkapnya: Dari Rimba ke Setra Gembala
Baca selengkapnya: Melawan Stigma Ikan Asap “Made In” Orang Rimba
Baca selengkapnya: Dulu Pemburu di Hutan, Kini Memungut Brondolan
Mereka mengenal seloka yang teramat sakral. Seloka ini menggambarkan bahwa mereka sangat dekat dengan hutan. “Piado rimbo, piado bungo. Piado bungo, piado dewo”. Seloka ini memiliki arti “Tidak ada hutan, tidak ada bunga-bunga. Kalau tidak ada bunga, maka tak ada dewa yang memberikan berkah bagi kehidupan.”
Bagi kelompok Orang Rimba, hutan bukan sekadar angka dan luasan; ada budaya, manusia, kepercayaan, dan ingatan, yang kini berangsur musnah.
Orang Rimba hidup berkelompok satu sama lain dan setiap kelompok dipimpin oleh seorang tumenggung (pemimpin adat). Mereka menjadi penjelajah di hutan dataran rendah. Masyarakat adat Orang Rimba sebagian besar percaya pada dewa dan roh leluhur. Namun ketika hutan hilang, perlahan-lahan mereka pun meninggalkan kepercayaannya. Di hutan tak ada lagi dewa yang melindungi. Kini mereka mengenal konsep ke-Tuhanan serta peribadatan.
Orang rimba adalah salah satu suku terasing di Indonesia. Dahulu mereka kerap disebut Kubu. Namun diksi Kubu ini punya konotasi dan stigma buruk. Belakangan, mereka juga lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam (SAD)– disematkan oleh pemerintah sekitar tahun 1970-an.
Survei terbaru yang dilakukan KKI Warsi–sebuah lembaga nirlaba yang fokus mendampingi komunitas masyarakat adat Orang Rimba mencatat, jumlah populasi Orang Rimba mencapai 5.542 jiwa. Jumlah mereka tersebar di beberapa kabupaten di wilayah Provinsi Jambi. Dahulu, mereka hidup ajek di dalam hutan. Sesekali keluar untuk menukar hasil hutan dengan kain dan barang lainnya.
Menarik untuk dicatat bahwa keberadaan Orang Rimba kini terus-menerus terancam oleh perubahan iklim. Hilangnya kawasan hutan begitu cepat mengubah pola ketahanan Orang Rimba. Akibat perubahan iklim ini telah memanifestasikan dalam berbagai cara di berbagai sendi kehidupan mereka seperti: ekonomi, identitas, budaya, dan kesehatan.
Orang Rimba sudah lama menjadi saksi eksploitasi hutan. Wajah mereka murung tatkala melihat rimba-rimba raya hilang ditebang. Alat-alat berat meraung dan keluar-masuk hutan. Pembangunan besar-besaran, termasuk transmigrasi dan investasi datang begitu cepat.
Masyarakat adat seperti Orang Rimba yang mengandalkan sumber daya hutan harus menanggung beban ketika pembangunan datang di sekitar mereka. Aset sumber daya yang selama ini menopang tradisi ritus dan ekonomi begitu mudah hancur dan beralih fungsi. Kini Orang Rimba hidup tanpa rimba. Hilangnya hutan telah mengubah kehidupan mereka.
Analisis data geospasial Global Forest Watch mencatat dari tahun 2001 hingga 2024, Jambi kehilangan 2,01 juta hektar tutupan hutan, atau setara dengan 45% dari luas tutupan hutan pada tahun 2000. Hilangnya hutan ini menghasilkan emisi 1,51 gigaton CO₂e.
Tak ada pilihan lain. Mereka memilih hidup menetap di rumah yang dibangun pemerintah. Dalam konteks pembangunan, sejak satu dekade terakhir pemerintah gencar “merumahkan” Orang Rimba. Kehidupan mereka yang seminomaden berangsur tinggal menetap di kawasan pemukiman. Sebagian besar dari mereka meninggalkan pola hidup nomaden.
Namun dengan program merumahkan Orang Rimba tanpa memberikan lahan penghidupan justru memunculkan persoalan baru. Syahdan, mereka terpaksa harus menjadi pemungut brondolan sawit atau rongsokan untuk menyambung hidup sehari-hari. Berbagai bantuan yang diberikan pemerintah hanya sebatas Charity, tanpa memikirkan keberlanjutan mandiri ekonomi.
Belum lagi, beberapa kelompok Orang Rimba masih bertahan tinggal di sudung–pondok terpal yang didirikan menumpang di kebun sawit orang. Mereka dihadapkan dengan ketidakpastian dan makin terpinggirkan. Kondisi ini, membuat mereka tetap bertahan dengan segala keterbatasan dan seringkali luput dari perhatian negara dan publik.
Baca selengkapnya: Dari Rimba ke Setra Gembala
Baca selengkapnya: Melawan Stigma Ikan Asap “Made In” Orang Rimba
Baca selengkapnya: Dulu Pemburu di Hutan, Kini Memungut Brondolan
Leave feedback about this